Sungguh, saya masih kepikiran bagaimana nasib pendidikan di masa pandemi COVID-19, yang masih berlangsung hingga saat ini.
Seolah-olah para guru sedang pasrah begitu saja dengan kenyataan -- untuk tidak mengatakan berpangku tangan dan tak berdaya. Para pemangku kebijakan pun, masih terus mencoba-coba sistem pendidikan yang dianggap efektif. Belum ada kepastian kebijakan berdasarkan hasil riset yang komprehensif.
Meskipun sudah memasuki situasi 'new normal'. Proses pendidikan nampaknya masih mengandalkan sistem daring (online). Sejak kemunculan COVID-19, hingga sekarang, model dan strategi hanya mengandalkan jaringan internet. Tanpa evaluasi serius dampak bagi anak-anak dan orangtua.
Baik itu secara psikologis, yang dapat menimbulkan rasa kecemasan, kejenuhan, dan stress pada anak, orangtua, maupun guru sendiri. Di samping kurangnya kedekatan, kehangatan, dan relasi guru-murid. Nyaris proses pendidikan pun, tanpa pedagogi sama sekali. Sekolah nampak terjebak pada rutinitas yang sekedar mencari dan meluluskan, tanpa ada kepedulian bagaimana membentuk karakter insan kamil melalui proses belajar mengajar.
Belum lagi dilihat dari aspek ekonomi, antara orang tua, guru, dan sekolah sangat terdampak sekali. Kekuatan ekonomi melemah dan lumpuh. Entah bagaimana jika kondisi ini terus berlangsung. Sekolah-sekolah bisa tutup dan kolaps. Semoga saja tidak. Semoga saja badai COVID-19 segera berlalu, dan kekuatan ekonomi menguat kembali.
Kondisi anak, sepertinya tidak begitu ceria memasuki kelas-kelas online. Guru ngomong (berbicara dan menerangkan materi di balik layar), anak-anak malah tidur atau bermain sendiri. Saking bingungnya, sebagian guru pun mengambil metode sekena-nya, yang penting kasih tugas dan tugas. Tanpa memikirkan; sendainya 3 mata pelajaran saja, berapa jam anak-anak itu harus mengejarkan tugas itu setiap harinya? Kapan waktu mereka bermain, beinteraksi, dan mampu melihat langsung gerak-gerik dan ekspresi guru, yang terkadang mampu mendatangkan inspirasi bagi mereka. Karena guru seharusnya memang memungkinkan, dilihat secara langsung sebagai sosok panutan (modelling), yang patut di-gugu dan ditiru.
Guru pun begitu, tidak bisa melihat tingkah polah anak; baik saat sedih dan gembira mereka. Terkadang kondisi psikologi dan latarbelakang sosial anak ini, perlu dimengerti guru dan dapat diperlukan sebagai observasi dan penelitian di dalam kelas, sebagai bahan evaluasi untuk peningkatan proses belajar mengajar.
Pertanyaan yang mengemuka adalah; bagaimana mungkin guru akan bisa "ngemong" pada anak? Sistem daring, pasti sangat menyulitkan guru mampu melakukakan internalisasi karakter. Susah mengajak anak untuk curhat intelektual dan membentuk budaya sekolah yang diinginkan. Apalagi ingin menerapkan sistem sekolah seperti yang dianjurkan Goodlad dalam buku A Place Called School Prospect for the Future; sistem sekolah yang mampu mendongkrak anak berfikir kritis, berkonfribusi positif, dan mempunyai 'self estem' untuk membangun bangsa dan negara.
Untuk mengajak anak memahami realitas kehidupan saja sangat susah sekali. Sebab melahirkan anak semisal mampu menghormati kenakaragaman masyarakat saja, terkadang memerlukan empati dan praktik secara langsung. Bukan sekedar membicarakan teori-teori saja. Miskin aksi. Bahkan, para guru ketika ingin melakukan "transfer of knowledge" pun, tidak bisa utuh sama sekali. Karena antara keduanya tersekat oleh jarak dan tidak tahu menahu realitas anak di balik laptop atau HP masing-masing.
Kita memahami problematika proses belajar mengajar pada masa pandemi yang begitu rumit. Biasanya sangat dikhawatirkan, jika proses belajar mengajar dilakukan secara offline, akan menjadi cluster penyebaran COVID-19. Sebagaimana telah resmi menjadi kebijakan Kemendikbud; bahwa selama COVID-19, sebagai alternatif, belajar dilakukan dari rumah. Di sinilah letak keseriusan masalah yang harus difokuskan untuk segera dicari jalan keluarnya. Mungkinkah menerapkan praktik sistem pendidikan pada masa COVID-19?
Bagaiamana kalau desain pembelajaran di-setting sedemikian rupa, dengan paradigma pencegahan penyebaran COVID-19. Sambil menunggu pemerintah segera menyuntik vaksin COVID-19 pada guru dan anak. Sistem kelas bisa diterapkan dengan berbagai cara. Pertama, bisa menggunakan model blended, kapan saat offline dan kapan mata pelajaran harus disampaikan secara online. Sehingga memungkinkan ada waktu khusus antara guru dan murid saling mengenal dan bisa merasakan sebuah interaksi dalam dunia kasunyatan.
Kedua, menggunakan sistem full tatap muka. Namun ketika memasuki kelas, para guru dan anak harus menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat. Semua guru & anak memakai pakaian anti COVID-19, seperti ketika para dokter memasuki rumah sakit, menggunakan APD (Alat Pelindung Diri), misalkan.
Ketiga, menggunakan sistem boarding school (seperti pesantren), dengan paradigma pencegahan COVID-19. Semua anak dan guru diasramakan. Sebelum memasuki asrama semuanya dalam kondisi sehat dan terbebas dari COVID-19.
Pada kondisi yang terakhir, untuk mewaspadai penyebaran COVID-19. Sistem asrama sekolah perlu perlu didukung dengan penguatan kesehatan guru dan anak dengan mengkonsumsi vitamin dan makanan yang bergizi. Di samping penguatan psikologis dan spritualitas anak. Setting pembelajaran pun perlu menekankan active learning, kreatif, dan menyenangkan. Sehingga setiap guru dan anak, setiap harinya dapat meningkatkan imun sendiri untuk melawan COVID-19.
Mungkinkah sistem ini diterapkan? [SM]
Penulis: Syamsul Maarif

0 Comments