Sejarah Walisongo sudah banyak dibaca dan diteliti serta senantiasa mengilhami banyak peneliti, ilmuwan, dan sejarawan dengan beragam pendekatan dan keilmuan masing-masing. Meskipun begitu, semua prespektif, baik yang melihat dari sisi "klenik'', spritualisme, dakwah, hingga pendidikan, dan kebudayaan; semakin meneguhkan jika spirit ajaran Walisongo senantiasa mengajarkan ajaran moderat, kedamaian, menghormati yang tua, menyayangi yang muda, dan cinta kasih terhadap sesama.
Kepiawaan Walisongo dalam mentransmisikan pokok-pokok ajaran Islam yang berhaluan aswaja dan bercirikan sufisme, di tengah-tengah masyarakat Jawa. Disebabkan karena mengerti dan memahami karakter ajaran Islam itu sendiri. Sejak kelahiran Islam di Mekkah dan kemudian didakwahkan Nabi Muhammad sampai membentuk negara Madinah. Islam selalu dinamis, adaptif, dan menyerap kebudayaan masyarakat setempat.
Narasi besar tentang ajaran para Wali selalu identik dengan ajaran Aqidah, Syariah, etika, dan moralitas. Spirit ajaran Walisongo menekankan bahwa; seorang muslim yang baik, di samping harus memiliki kesalihan normatif; seperti kuat dalam keyakinan, taat dalam beribadah. Juga harus meniti jalan mistik dan mempunyai kesalihan sosial. Jadi, ketika hidup di tengah-tengah masyarakat majemuk, yang memiliki perbedaan dalam agama, kepercayaan, dan budaya, harus bersikap inklusif; melebur bersama anggota masyarakat lain, tanpa pandang bulu.
Jelasnya, seorang muslim harus menampilkan kesucian batin, teposeliro, penghormatan, dan keindahan akhlak (baik pada Tuhan, sesama, dan alam). Semua ajaran wali ini, jika ditelisik secara jernih, sejatinya bersumber dari ajaran Islam yang genuin. Memiliki basis-basis doktrinal teologis yang kuat. Meskipun oleh sebagian orang, potret dan model Islam ajaran para Wali, selalu dipandang sebelah mata, sinkretis, dan pandangan meremehkan lainnya.
Bahkan secara substabtif, ajaran para Wali sejatinya merupakan replika sekaligus pengejawentahan dari ajaran dakwah rasul. Sejalan dengan ini, Sayyed Hossen Nasr (1981), dalam buku Islamic Life and Thought menggambarkan dengan begitu indahnya. Jika Islam itu senantiasa berdialog dengan kultur lokal. Setiap kepercayaan, tindakan atau perilaku masyarakat setempat, diyakini selalu mendasarkan pada kitab suci. Tradisi Islam itu bagaikan pohon, akarnya adalah wahyu yang menumbuhkan banyak cabang dan ranting.
Ajaran Islam juga lekat dengan kemanusiaan dan bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Islam itu rahmat bagi semesta alam dan selalu identik dengan kelembutan, keserasian, dan keindahan. Adalah salah besar, jika ada yang beranggapan bahwa ajaran Islam identik dengan kekerasan, selalu berhadap-hadapan dengan negara, apalagi menimbulkan permusuhan. Sebaliknya ajaran para Wali senantiasa memperkuat negara. Sebagai bukti, seorang wali dari Grobogan, Ki Ageng Selo (salah satu murid Sunan Kalijaga), pernah mengatakan dalam serat Pepali; "ojo mlaku ngiwo". Sebuah anjuran pada masyarakat agar tidak berlaku inkonstitusional, perlu menghormati pemimpin, dan tidak memberontak pada pemerintah yang sah.
Selain itu, dalam dinamika perkembangan sejarah, Islam sebagaimana yang ditanamkan para wali selalu mensuport dan compatible dengan nilai-nilai demokrasi. Sunan Ampel adalah pioner dan peletak dasar pembentukan kota Surabaya, mempernalkan ilmu tata pemerintahan, dan pencetus lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa (Demak Bintara). Hal ini, selaras dengan sebuah pandangan positif dari para ahli seperti Aristoteles, Alfarabi, dan Plato yang menganggap manusia adalah makhluk "zoon politicon" makhluk sosial yang membentuk masyarakat. Sengaja berkelompok, bermusyawarah, dan sampai menentukan kepala negara untuk bersama-sama menyelesaiakan masalah yang dihadapi serta mencapai kesejahteraan bersama.
Menghormati Guru dan Pemimpin
Ajaran para Wali, sejatinya tidak memisahkan begitu tajam antara kiai (pemimpin agama) dan raja (pemimpin negara). Antara keduanya bisa dikatakan sangat berkelindan, saling memperkuat, dan menciptakan keharmonisan. Abdurrahman Masúd secara tegas menyatakan; “dikotomi atau gap antara ulama dan raja tidak mendapatkan tempat dalam ajaran dasar Walisanga (Masúd, 2010). Begitu dekatnya antara Kiai dan raja, pada saat itu, dan pemuliaan kepada para kiai-kiai pesantren—banyak raja-raja Jawa Islam yang memondokkan putra-putrinya untuk berguru pada para Wali atau ke Kiai-Kiai pesantren.
Penghormatan pada raja dan guru, bagi masyarakat Jawa; selain dipercayai mendatangkan keberkahan. Juga diyakini mampu menciptakan stabilitas dan kedamaian. Tentu saja, raja dan guru yang harus dihormati juga harus mememuhi syarat-syarat yang ditentukan, diantaranya Sunan Kalijaga pernah memberi nasihat pada Pemanahan, bahwa seorang raja itu ucapayanya harus konsisten dan tidak boleh mencla-mencle. Ucapan raja harus menjadi "sabda pandita ratu tan kena wola-wali".
Para ahli sastra Jawa, mengukuhkan penghormatan seorang raja dengan predikat Sultan. Penyebutan raja menjadi Sultan ini, terjadi pada abad ke-16 dan merupakan pengaruh langsung ajaran Islam. Namun, tanpa menggeser sedikitpun tradisi dan peradaban Jawa. Sultan merupakan gelar laku agung, yakni ngarso dalem (yang di depan Anda), sampeyan dalem (Kaki Anda), ingkang sinuhun (yang diharapkan) yakni kanjeng sultan (tekad menegakkan kebenaran, keindahan, kebaikan). Setingi-tingginya tekad ialah hamengkubuwono, yakni syahadat/syahid. Sebagaimana pengakuan Dardjati Supadjar ketika memberi pengantar karya Mark R. Wood ward berjudul Islam in Java: Normative Piety and Misticism (1999); penyebutan Sultan harus mempunyai karakter sebagai Khalifatullah. Sebuah keinginan dan harapan bahwa seorang sultan harus senantiasa bersikap adil, bukan perusak lingkungan, penganiayaan diri, dan penumpah darah.
Begitupula seorang guru harus menjadi guru sejati. Ronggowarsito dalam wirid mistik hidayat jati mensyaratkan seorang guru diantaranya harus mandraguna (kaya ilmu pengetahuan), nawung-kridha (tajam penglihatan batinnya), dan sambegana (kuat ingatanya). Sebagai seorang Pamong, guru menurut Ki Hadjar Dewantara (1977), harus berpedoman pada ajaran "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani". Guru harus mempunyai seni mendidik, mencintai, dan dicintai peserta didik; guru bisa menjadi seorang model/panutan, mampu merangsang dan menggairahkan peserta didik dalam mencari, mengembangkan, dan menemukan ilmu pengetahuan.
Guru harus mempunyai sejumlah kompetensi, harus ekspert, menguasai ilmu agama (professional), bersikap zuhud dan wiraÃ. Guru harus mempunyai kebeningan hati, ikhlas, dan ketajaman pancaindera. Seorang guru tidak boleh bengis, serakah, dan kedonyan. Sebuah karakter yang harus dipegang erat-erat para guru, terutama pada era sekarang. Sebagaimana disinyalir seorang pakar psikologi sosial bernama Erich Form dalam buku To Have or to be (1976), sebuah kehidupan yang hanya mengejar kekayaan dan harta benda belaka.
Jika ditelisik secara mendalam, peradaban memuliakan seorang raja dan guru seperti tersebut di atas, mulai kokoh dan berkembang pesat, sejak Raden Patah mendirikan kerajaan Demak. Dan hal ini, tidak serta merta atau tiba-tiba menjadi sebuah tradisi. Melainkan, jauh sebelumnya ternyata sudah dipersiapkan Raden Patah dengan membina basis-basis pesantren (Jendra, 1986: 140, Mahmudi, 2005). Melalui sistem pesantren, peradaban dan kebudayaan memuliakan guru dan pemimpin senantiasa dijaga dan dirawat. Pesantren kemudian sampai sekarang pun, terbukti mampu melestarikan budaya dan ajaran adi luhung peninggalan para leluhur.
Dengan melihat ke belaknag, peradaban yang berbasis moralitas dan kebudayaan memuliakan raja dan guru seperti itu, sebenarnya juga sudah berlangsung lama pada masyarakat Jawa. Kemudian berkembang pesat dan semakin kokoh pada masa kerajaan-kerajaan Jawa Islam, sampai akhirnya kerajaan Islam mulai pudar. Wibawa seorang raja, sunan, atau sultan mulai turun ketika terdapat pengaruh langsung VOC. Salah satu faktor penyebabnya, yaitu kedudukan dan derajat mereka digeser dan diturunkan; yang pada awalnya sejajar dengan raja Belanda, diturunkan menjadi seorang bawahan yang harus tunduk pada Belanda (Suwondo, dkk (1994), Musahadi, dkk (2003). Peristiwa ini, tepatnya sejak disetujuinya Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang membagi kerajaan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Pada abad 18 dan 19, juga terjadi darurat moralitas pada masyarakat jawa dan menurut Paku Buwana IV, dalam Wulang Reh ditandai pergeseran tradisi murid ngupaya guru menjadi kiai guru naruthu ngupaya murid.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah jika terdapat sekelompok masyarakat yang suka meninggalkan budaya, seperti saat sekarang. Muncul fenomena suka mengkafir-bid'ahkan tradisi dan ajaran leluhur, mempunyai sikap brutal, tidak bisa menghormati pemimpin, selalu melawan hukum, bahkan kadang bersikap ekstream dan mengedepankan kekerasan—apakah bisa dikatakan sudah terpengaruh pemikiran dari luar (baca: pemberontak atau penjajah), idiologi-idiologi trannasional yang merusak generasi muda, atau masyarakat tersebut tak pernah atau antipati membaca sejarah Walisongo? Perlu penelitian lebih lanjut, tentang hal ini, bukan?
_____
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Psikologi Kesehatan (FPK) UIN Walisongo

2 Comments
Terimaksih pa www.mihmweding.com
ReplyDeletewww.zainiaddimawy.blogspot.com
Subhanallah bagus sekali
ReplyDeleteSemoga cita2 bangsa indonesia menjadi negara yang ''baldatun toyyibatun warobbun ghofur" tidak lama lagi benar2 terwujud dng ridlo Allah swt.
Jadi semakin bangga jadi warga Indonesia khususnya Demak bintara
Saya suka sekali pepali ki ageng selo apalagi yg melantunkan habib syaih assegaf merdu sampai merasuk hati.