Sistem
pendidikan pesantren dalam parameter modernisasi, oleh sebagian kalangan masih
dipandang remeh, ndeso, dan terbelakang. Karena dianggap terlalu mempertahankan
tradisi dan kurang tanggap terhadap perkembangan zaman. Meskipun belakangan,
pesantren dengan manajemen kulturalnya mampu memikat sejumlah pihak; karena
pesantren yang bersifat indigenous Indonesia dengan segala
kekurangannya—ternyata masih bertahan dan tetap berkontribusi positif bagi
bangsa. Bahkan terdapat beberapa pesantren melakukan sejumlah transformasi dan
dinamisasi terhadap perkembangan yang terjadi serta berusaha menuju kebangkitan
ilmiah, menjadi pusat pendidikan dan peradaban.
Pesantren di
era revolusi industri saat ini, sebagian besar sudah menyadari betapa
pentingnya berpegang pada prinsip continuity and change. Sikap
keterbukaan, elastis, dan tetap kritis
serta berjangkar pada identitas kebudayaan pesantren—harus berjalan beriringan,
agar tetap kuat menghadapi gelombang revolusi dunia. Karena pesantren sekarang berada
pada perubahan zaman yang tak terelakkan. Perubahan itu pasti, sunnatullah.
Mengutip pernyataan Heraclitus
bahwa “Panta Rei Kai Uden Menei”(semuanya
mengalir dan tidak sesuatu pun yang tetap tinggal). Sementara dalam sebuah
kitab kearifan tertua dari china (I Ching); “ gerak adalah suatu yang alami,
dan muncul secara spontan". Perubahan waktu, saat ini sangat cepat,
Anthony Giddens menyebutnya time space distanziation (2002).
Pesantren agar tetap survive dan tak mudah tergerus
zaman perlu melakukan sebuah kajian mendalam; "Reimagining Our Futures
Together: A New Social Contract for Pesantren”. Pesantren sangat memungkinkan
bisa mengatasi gelombang disrupsi sosial dan segala dampak yang ditimbulkan.
Apalagi pesantren dalam prespektif historis, telah teruji dan tak terbantahkan
ikut andil dalam mencerdaskan anak bangsa dan mempunyai peran vital atau
strategis dalam mempertahankan kemerdekaan dan menyukseskan serta mengisi
pembangunan Nasional.
Selain itu, pesantren
senantiasa terdepan dalam center of education, dengan peran utama
kultural pesantren sebagai transfer pengetahuan, moral, dan pengabdian pada
masyarakat. Pesantren diyakini bukan sekedar memiliki akar dan koneksi dengan
khazanah turots (karya-karya ulama klasik) lintas generasi yang
senantiasa bisa dipedomani. Pesantren pernah menjadi laboratorium epistemik dan
keilmuan yang luar biasa. Dipenuhi literatur dan karya-karya keilmuan Islam
yang ditulis oleh para ulama besar lintas abad dan generasi. Pesantren terbukti
melahirkan para kiai besar, selain produktif dan melahirkan banyak karya juga berguna
bagi umat, bangsa, dan negara. Sebut saja Mbah Sholeh Darat, Syekh Nawawi
Al-Bantani, dan para santri Syeikh Cholil Bangkalan Madura, diantaranya: Kiai Hasyim Asyári, Wahab Hazbullah, dan KH.
Bisyri Syansuri.
Di tengah
gelombang IoT (internet of thing) dan big data yang melimpah,
yang kadang menyeret masyarakat pada keberagamaan instan (tidak rumit dan penting
mudah), malas membaca dan meneliti. Sering menyandarkan pada sumber tidak valid, dan terjerembab pada budaya
hoaks. Maka keberadaan pesantren menjadi sangat vital dan diharapakan
mengembalikan budaya literasi agar masyarakat tetap hati-hati dalam melakukan
saring sebelum sharing. Beragama dan beribadah harus dengan ilmu. Ngaji pada
kiai. Sekaligus mencegah terjadinya the date of expertise.
Tak salah, jika
pesantren menggunakan fasilitas teknologi modern yang canggih sekarang. Agar pesantren
selalu up to date dan tidak tergilas perkembangan teknologi; perlu melakukan percepatan quantum learning
dengan memberikan fasilitas laboratorium komputer dan akses internet, berkenalan dengan alat komunikasi portable (laptop, HP), dan medsos (smartphone).
Pesantren perlu menyiapkan kebutuhan SDM talenta digital dan membuat semacam
regulasi dengan sistem
blocking akses untuk mendukung pembelajaran dan pencarian sejumlah referensi
yang diperlukan oleh santri dan kiai dengan mudah dan cepat. Serta menyediakan
sejumlah informasi melalui video tutorial,
berita, jurnal, e-book,
dan lain sebagainya.
Pesantren harus
memasarkan dan melakukan proses edukasi melalui jaringan internet. Urgensi
pesantren digital ini, dengan sebuah pertimbangan; jika kebanyakan dunia
Pendidikan, rame-rame melakukan pengembangan dari sekedar nilai guna menjadi
nilai jual (marketable). Meminjam teori komodifikasi yang dipopulerkan
Vincent Moscow (1996: 127), sepertinya pesantren
pun jangan ketinggalan, perlu melakukan hubungan interaksi dengan pasar secara
terus menerus. Sedangkan menurut Greg Fealy dalam Consuming Islam:
Commodified Religion and Aspirational Pietism in Contemporary Indonesia (2008);
pesantren harus lebih menekankan pada penghayatan iman yang spontan, progresif,
dan dinamis sesuai dengan perkembangan kontemporer.
Memperkuat paradigma keilmuan
Lebih dari itu,
pesantren harus membangun paradigma keilmuan tersendiri, agar impian menjadi
agen transformasi keilmuan bisa terealisasi. Pesantren harus menunjukkan
ontologi dari hakikat dan struktur keilmuan, epistemologi dari objek, cara
memperoleh dan ukuran kebenaran keilmuan, juga perlu menunjukkan aksiologi.
Kegunaan keilmuan yang diharapkan pesantren harus menghasilkan ilmu-ilmu baru
yang bersifat theo-antroposentris dan berbasis local wisdom.
Agar pesantren
mampu melahirkan generasi masa depan yang kredible, bermutu, dan bertakwa,
serta karakter cendekiawan sekaligus ulama yang berkepribadian sebagai bangsa
Indonesia. Pesantren
perlu memadukan sesuatu yang tradisional dan modern. Sehingga menurut
Abdurrahman Wahid, memungkinkan pesantren menjadi wadah bagi resistensi moral
dan budaya atau pewaris tradisi intelektual Islam (Faisol, 2011). Sekaligus
pesantren harus melakukan antisipasi dan partisipasi terhadap tantangan
pendidikan kontemporer, agar mampu melakukan innovative learning. Pembelajaran
bukan sekedar teoritis-kontemplatif atau iluminasi utopis dan bersifat
metafisik semata. Melainkan menggunakan pendekatan praktis-produktif dan
menghadirkan falsafah rasional.
Menjadikan
pesantren sebagai pendidikan alternatif dan menunjukkan eksistensinya sebagai
pendidikan masa depan, pesantren harus segera mengisi ruang-ruang penting dalam
dunia maya, dengan selalu melakukan penyebaran dan desiminasi hasil pemikiran
dan kajian dari para santri dan kiai. Menyuguhkan informasi yang sangat
dibutuhkan masyarakat secara obyektif dan faktual. Di sinilah peran penting
entertain, publikasi dan riset pesantren. Sehingga pesantren mempunyai peran
ganda untuk lita’aruf, ta'alum, dan tafaqquh (matrikulasi, studi pendalaman,
dan mempunyai unggulan).
Sekaligus
pesantren harus terdepan dalam memberikan solusi transformatif, di
tengah-tengah masyarakat. Sebuah pemikiran dan respon masyarakat pesantren atas
keprihatianan sosial yang retak menuju masyarakat yang toleran, demokratis, dan
penuh kasih. Memecahkan berbagai persoalan masyarakat—melalui model pendidikan
demokratis.
Selaras dengan
visi Islam transformatif yaitu perubahan masyarakat dan menekankan dakwah
sebagai upaya penegakan amar ma'ruf nahi munkar dan aktualisasi nilai-nilai
Islam dalam setiap aspek kehidupan. Dakwah dan pendidikan pesantren
berorientasi pada perubahan dengan aksi nyata dan dalam kerangka pemecahan
masalah yang sedang dihadapi umat, seperti kebodohan, kemiskinan, ketimpangan
sosial, radikalisme dan lain sebagainya.
Pesantren perlu
mendesain sebuah gerakan penyadaran untuk bersama-sama membangun karakter dan
menjadi role model bagi masyarakat luas. Jika dalam budaya pesantren berkembang
kaidah lisanu al-hal afshahu min lisani al-maqal (contoh yang baik lebih
efektif dari sekedar ucapan). Maka, pesantren harus bisa menjadi contoh bagaimana
bisa menghadapi dan mencari pemecahan masalah pada kondisi obyektif sosial
ekonomi di tengah gejolak politik global yang semakin kasar, semrawut, dan
tidak adil. Membuat sebuah gerakan untuk menemukan kembali air kehidupan yang memungkinkan setiap jiwa raga manusia
bisa berenang dengan indah dan gembira.
Tantangan dan Peluang
Memang revolusi
digital telah menyulap kehidupan masyarakat kontemporer. Diantaranya kecanduan
hidup dan selalu bergantung pada layar digital. Terlepas sisi positif komunikasi digital yang memudahkan dan
membuka berbagai kemungkinan baru yang tak terpikirkan sebelumnya, tetapi juga
berdampak serius bagi kehidupan. Merusak dan melalaikan. Asik bercengkerama dan
berselancar di dunia maya, lupa keluarga dan zikir. Bahkan tanpa disadari, sentuhan jari kadang
menjerumuskan pada kejahatan. Seperti kebohongan, kebencian, dan kecabulan.
Menghadapi
situasi dan ambivalensi kehidupan saat ini; inovasi dan improvisasi kreatif
perlu senantiasa dilakukan pesantren dalam membangun literasi digital. Supaya
pesantren ikut mewarnai perkembangan di dunia digital secara positif dan tidak
terseret pada arus negatif globalisasi. Pesantren harus senantiasa memberikan
penguatan literasi digital pada santri. Sehingga para santri mempunyai kecerdasan literasi yang berbasis teknologi informasi,
memiliki keterampilan berpikir menggunakan sumber pengetahuan dalam bentuk cetak,
visual, digital, dan auditori.
Jika tidak diimbangi
dengan kecerdasan literasi digital dan sikap kritis. Maka, kebenaran medsos
yang digandrungi masyarakat kontemporer sekarang, tidak akan memberikan
sumber-sumber kebaikan. Melainkan berubah mengajarkan kebenaran hoaks dan
menarasikan kekerasan, konflik, dan sentimen SARA. Kondisi ini, secara otomatis
medsos telah menfasilitasi mereka untuk
menjadi guru-guru kehidupan yang tidak ramah dan menyenangkan. Bahkan, menyeret
mereka pada suatu "kehidupan hitam" yang jauh dari nilai agama dan moralitas;
saling membenci, bermusuhan, dan bertindak intoleran.
Lebih dari itu,
dengan literasi digital pesantren memungkinkan transfer of knowledge dan
transfer of values; lebih-lebih dalam menjaga ketahanan identitas dan budaya
pesantren. Sekaligus membentuk rasa kepercayaan dan kecintaan sebagai warga
negara. Relevan dengan persoalan ini, pesantren perlu memperkenalkan bahwa
kebangsaan itu berakar dari budaya, dan ditopang dengan pemahaman negara modern
yang di dalamnya terdapat pilar intelektual dan moral. Hal ini tertancap kuat
dalam tradisi pesantren.
Bukti sejarah
menunjukkan bahwa pesantren selalu menekankan bagi para santri sikap dan
karakter self understanding of nation. Sehingga menimbulkan kebanggaan
nasional (national pride), harga diri, dan rasa swadaya. Dari situlah
pesantren melahirkan berbagai pemikir dan pahlawan hebat serta terbukti menjadi
penyangga kebudayaan nusantara. Kebudayaan pesantren melahirkan awareres
(kesadaran), leadership (kepemimpinan), brain (kecakapan), achievement
(kemapanan prestasi), dan balance (keseimbangan). Terutama mamapu membangun
harmoni dan menciptakan keseimbangan, terfokus pada dunia dan akhirat, bukan?
Sumber: Kompas/15/9/2022

0 Comments