Menarik mencermati upacara peringatan
hari lahir Pancasila tahun 2022, yang dilakukan secara virtual dan dipimpin
langsung oleh Presiden RI Joko Widodo di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur,
Rabu (01/06). Upacara diikuti oleh seluruh kementerian, Lembaga, dan pemerintah
daerah. Salah satu amanat penting yang disampaikan presiden bahwa; “Pancasila
telah mempersatukan kita dan sebagai bintang penuntun ketika Indonesia
menghadapi tantangan dan ujian. Beliau mengajak seluruh anak bangsa untuk bersama-sama
membumikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pesan tersebut sangat tepat, apalagi
Pancasila masih menghadapi sejumlah tantangan serius; seperti pudarnya rasa
persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa dan munculnya sejumlah kelompok
intoleran dan radikal (takfiri jihadis) yang senantiasa merongrong dan ingin
mengganti Pancasila. Bahkan hampir bersamaan dengan Ultah Pancasila, publik
dihebohkan dengan konvoi rombongan yang membawa tulisan kebangkitan khilafah di
Cawang, Jakarta Timur (Minggu, 29/5/2022) dan sebelumnya terjadi juga di Brebes. Kelompok
Khilafatul Muslimin ini, memiliki kedekatan dengan NII dan MMI atau HTI yang
sudah ditetapkan pemerintah sebagai organisasi terlarang. Mereka memiliki orientasi yang sama berusaha
mendirikan Khilafah di Indonesia.
Pertanyaan yang sering muncul kenapa
masih muncul kelompok-kelompok radikal dan pengasong khilafah di Indonesia.
Bukankah Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara sudah final? Yang
menyesakkan dada adalah sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, dan dikatakan sebagai negara Muslim terpadat di dunia seringkali harus
menjadi pihak yang 'dirugikan' dalam berbagai aksi radikalisme dan ektremisme.
Atribusi peristiwa kekerasan dan penangkapan sejumlah teroris di berbagai
daerah oleh Densus; hampir selalu berlindung dan menggunakan topeng-topeng
agama. Sebuah agenda yang sengaja dirancang oleh kelompok “radikal” untuk
mendistorsi dan menghancurkan kemuliaan Islam dari dalam. Padahal, sejatinya
Islam adalah agama damai. Lagi pula, tidak ada dalil yang membenarkan pendirian
negara khilafah apalagi jelas-jelas sudah ada sistem pemerintah yang disepakati
bersama oleh seluruh masyarakat seperti NKRI. Negara dalam sejarah Islam tidak
bisa dimaknai sebagai khilafah saja. Nabi sendiri tidak pernah mengemukakan
satu pun bentuk pemerintahan politik yang baku dan harus diikuti penerusnya.
Abdurrahman Wahid dalam buku “The
Illusian of an Islamic State” (2020), telah menjelaskan bahwa kelompok yang
ingin mengerek bendera tauhid itu sangat ganas dan efektif menipu masyarakat
Muslim secara luas. Organisasi pengusung khilafah baik di dalam atau di luar
pemerintahan—saling mendukung dalam mengejar agenda bersama. Upaya mereka
menformalkan Islam hanya dalih untuk agenda yang sebenarnya, yaitu perebutan
kekuasaan politik.
Faktor dominan apa yang menyebabkan munculnya sejumlah kelompok
pengasong khilafah di Indonesia? Jika ditarik mundur, para pengasong khilafah
yang masuk pada katagori “radikalisme Islam” sebenarnya muncul dipicu oleh
masalah dalam negeri, di samping konstelasi politik internasional yang dianggap
telah memojokkan kehidupan sosial politik Muslim. Atau sebuah fenomena
westernisasi yang menyebabkan sebagian kelompok Muslim merasa minder kepada
Barat. Apalagi sikap inferior mereka dengan ketertinggalan dengan kemajuan
Barat dalam bidang sains dan teknologi.
Dilihat dari jumlah gerakan radikal
juga tampak endemis di masa reformasi. Ini bisa dimengerti karena di era
reformasi gerakan-gerakan Islam radikal dapat dengan bebas muncul dan
menyalurkan ide-idenya. Kemudian setelah reformasi seperti penelitian M.
Imdadun Rahmat (2005), ditandai dengan munculnya sejumlah organisasi baru yang
menganut gagasan "salafisme radikal" yang memiliki basis ideologi,
pemikiran, dan strategi pergerakan yang berbeda dari Organisasi Islam sebelumnya
(mainstream).
Pola gerak, pandangan, dan tujuan
gerakan radikal mereka sebenarnya tidak memiliki pola yang seragam. Hanya ada
perjuangan untuk penerapan Syariah Islam tanpa perlunya mendirikan "negara
Islam", tetapi ada juga yang berjuang untuk pembentukan "negara Islam
Indonesia", selain itu ada juga yang berjuang untuk pembentukan
"Islam" kekhalifahan" (Affandy, 2016). Mereka kadang menggunakan
nama kelompok dan afiliasi politik berbeda. Namun dengan ghayah atau
tujuan sama, yaitu berdirinya Negara Islam.
Menariknya, gerakan yang kerap
disebut Organisasi Islam baru (New Islamic Movement), sebenarnya bisa
ditelusuri asal-usul pemikirannya dari berbagai organisasi Islam di Timur
Tengah. Seperti Gerakan Tarbiyah, HTI dan kelompok Salafi, termasuk Lashkar
Jihad Ahlussunnah wa al-Jama'ah, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Jama'ah
Islam (JI). Gerakan pemikiran tarbiyahnya dekat dengan Ikhwanul Muslimin dan
HTI yang secara resmi merupakan cabang dari HT International yang berbasis di Yordania.
Sementara dakwah Salafi berjejaring
dengan Gerakan Salafi di Timur Tengah. Pada awalnya, gerakan radikalisme laten
mulai memanifestasikan dirinya secara terbuka pada 1990-an. Ini ditandai dengan
munculnya halaqah-halaqah di kampus dan munculnya jamaah dengan pakaian
yang unik dan eksklusif. Tentu saja gerakan ini secara masif menarik perhatian
banyak orang, mulai dari mahasiswa, pelajar, atau orang awam.
Proses radikalisasi di kampus ini,
terjadi baik di kampus umum maupun agama. Namun kampus umum lebih mudah untuk
menargetkan perekrutan gerakan radikal. Halaqah-halaqah seperti di kampus
kemudian mentransmisikan ajaran ulama non-maintainream seperti Sayyid Qutb,
yang memegang pandangan bahwa seluruh dunia saat ini, termasuk dunia Muslim,
masih dalam keadaan jahiliyyah (kebodohan) di mana manusia menggantikan posisi
Tuhan dengan dirinya sendiri (Qutb, 1982: 904). Pandangan tentang hubungan
internasional non-maintainream ini, seperti yang dijelaskan oleh Usamah
Sayyid al Azhary, dalam buku Al-Haqq al-Mubin fi al-Raddi 'ala Man Tala'aba
bi al-Din-juga menunjukkan pandangan ulama lain seperti Muhammad Abdussalam
Farj, Shaleh Sariyah, dan yang termasuk dalam kelompok ISIS-yang berpandangan
bahwa antara negara kafir dan negara Islam ada konflik dan permusuhan. Mereka
juga menarik pandangan kebencian dan saling tidak percaya di antara orang-orang
dari populasi mayoritas Muslim (Hidayatullah, 2015: 83). Sebuah pandangan
tekstualis dan sangat mudah mengkafirkan kelompok yang berbeda pandangan.
Bahkan, tak segan-segan, mereka melakukan kekerasan atas nama agama.
Pemahaman seperti itu, sebagaimana
dikemukakan oleh Greg Fealy dan Anthony Bubalo (2007: 73-80), memunculkan
pandangan bahwa Masyarakat Islam dan kondisi jahiliyyah tidak bisa hidup
berdampingan, wajib jihad menyinggung semua orang. Muslim sejati yang dia
katakan adalah mereka yang menyebarkan Islam dengan melakukan jihad ofensif
untuk semua hal di luar Islam, termasuk non-Muslim. Jenis jihad ini, menurut
mereka, tidak hanya dibenarkan atau didorong, tetapi juga ibadah yang sangat
mulia. Konsep jihad ini diimbangi oleh Sayyid Qutb (1982), dengan tesisnya pada
kategori takfir (kemurtadan) dan kemurtadan (keluar dari Islam).
Dua konsep ini digunakan oleh
Salafisme Jihad untuk membenarkan "vonis bersalah" terhadap penguasa,
orang, pejabat atau organisasi sekuler lainnya yang menentang atau menghalangi
gerakan mereka. Sehingga pembunuhan dan penyerangan kelompok semacam itu
dianggap sebagai bagian dari jihad yang mulia. Tidak dapat dipungkiri bahwa
gerakan Salafi Jihadis seperti itu masih ada di tengah-tengah masyarakat,
meskipun tidak muncul secara frontal. Bahkan, Salafisme Jihadis ini kemudian
menjadi ajang tuduhan al-Qaeda dengan begitu banyak aksi.
Peristiwa perekrutan dan jaringan
radikalisme, tentu saja, terus berkembang dan mengalami beberapa perubahan. Semenjak
jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, hingga saat ini, faktanya, masih sering
dijumpai gerakan-gerakan keagamaan (dengan nama yang berbeda dan selalu
bermetamorfosis)—yang ingin memposisikan Syariah Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, atau dalam konteks berbangsa-bernegara (nation
state), terutama dalam kaitannya dengan penerapan syariat Islam di berbagai
aspek di Indonesia. Meskipun gagasan formalisme syariah Islam seperti ini,
sangat tidak relevan dan hanya akan mengulang sejarah masa lampau.
Pendek kata, tumbuh kembangnya para
pengasong khilafah karena terjadi penurunan nilai-nilai ilahi dalam diri
manusia. Idealnya, hubungan manusia dengan Tuhan harus selaras dengan hubungan
manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya. Apa pun penyebab radikalisme dan ektremisme, sebenarnya itu adalah
musuh semua umat beragama. Kemunculan radikalisme dan ektremisme disebabkan salah
tafsir terhadap ajaran agama. Karena sering ditemukan di lapangan penafsiran
agama yang disalahpahami oleh umat beragama. Radikalisme dan ektremisme
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap ancaman terhadap bangsa. Salah besar jika kelompok
ini selalu dikaitkan dengan Islam. Karena Islam adalah agama yang senantiasa memberikan
keamanan, kenyamanan, ketenangan bagi seluruh alam, bukan?
*Sumber: Suara Merdeka, 8/7/2022

0 Comments