Pendidikan Prespektif Realisme dan Kritik atas Dominasi Positivisme Dalam Dunia Pendidikan


 

Filsafat realisme memandang dunia sebagai sebuah fakta objektif, dengan penekanan pada pengalaman empiri dalam memperoleh sebuah pengetahuan, menarik diangkat kembali dalam upaya mencandra realitas pendidikan di Indonesia yang “jomplang”. Sebab, terdapat sistem pendidikan kita yang cenderung meninggalkan studi empirik dan terkesan “melangit”. Sehingga hanya mengajarkan pada peserta didik sebuah pengetahuan abstrak yang jauh dari kenyataan. Di sisi lain, terdapat juga yang terjebak memandang dunia hanya alam materealistik, sehingga menyebabkan manusia egois dan sombong serta teralineasi dari nilai-nilai kearifan. Untuk kasus yang terakhir, karena paradigma yang dibangun didasarkan pada positivisme yang ontologisnya bersumber dari realisme—nampaknya sangat mendominasi wajah pendidikan di Negara kita.   Padahal, dengan berbagai paradigma aliran realisme, baik itu realisme tradisional maupun realism modern atau kritis—semakin menyakinkan bahwa alam beserta isinya adalah sebuah misteri yang perlu didekati bukan tataran materialistik dan mekanistik belaka. Terdapat dunia lain yang tidak bisa ditangkap dengan kekuatan nalar dan harus kita yakini keberadaanya, sehingga menimbulkan harmoni antara manusia dengan Tuhan dan alam sekitarnya.

 

Kata Kunci: Realisme kritis transendental, Pendidikan,  & Positivistic            

 

Pendahuluan

Realitas..! begitu sering kita mendengar istilah yang satu ini. Sebuah istilah misterius dan kontrofersial yang sering melekat pada sebuah objek atau benda. Bisa jadi, istilah ini berkonotasi baik atau buruk, kabar gembira yang menyenangkan atau pengalaman pahit.  Sebagai contoh realitas berarti negatif adalah praktik pendidikan kita yang lebih mengutamakan angka atau fisikalisasi seperti; IP, Rangking, dan Ijazah—daripada substansi, sehingga menyebabkan terdistorsinya nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan fenomena mengejar predikat Guru Besar dengan melakukan praktik perjokian dalam menulis jurnal Scopus, dan lain sebagainya. Merupakan sebuah realitas yang menampar sakralitas dunia pendidikan, tidak boleh dianggap sepele, dan harus segera dicarikan pemecahanya. Dalam konteks ini, memandang manusia secara holistik, sebagai makhluk materi dan immateri sekaligus, paling memungkinkan untuk mengembalikan manusia sebagai pribadi yang utuh (insan kamil).    

Berbeda pula ungkapan realitas yang menunjukkan arti sebuah “malapetaka atau nasib”, bagi koruptor Nazaruddin. Setelah ditangkap di Cartagena, Kolombia, tersangka dugaan suap kasus pembangunan wisma atlet di Palembang itu. Meskipun, selalu berkelit dan mempertahankan diri dari semua tudingan yang dialamatkan kepadanya, bahkan selama masa pelariannya banyak bicara dan menuding sejumlah tokoh Partai Demokrat terlibat dalam aliran dana ilegal ia akhirnya pun, banyak diam dan harus ditahan di Rumah Tahanan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.

Lain Nazaruddin, lain pula makna realitas seperti bagi masyarakat umum atau orang tua yang sukses maupun gagal dalam mendidik anaknya. Kegagalan bagi mereka adalah sebuah kenyataan hidup yang harus diterima apa adanya. Siapa sangka, meskipun mereka sudah berusaha semaksimal mungkin, dengan mengirim putra-putrinya ke sekolah setelah lulus tidak menjadi seperti yang mereka impikan, malah menjadi pengangguran. Ini, mungkin disebabkan putara-putri mereka selama sekolah hanya mengejar gelar, nilai/IP dan lebih mementingkan hardskill daripada softskill.         

Sebuah negeri yang terkenal dengan sebutan gemah ripah loh jinawi, sebuah penggambaran ideal tentang Negara kita yang subur dan makmur, tetapi pada kenyataanya sekarang, masih banyak ditemukan orang miskin, pengemis, gelandangan dan orang-orang yang berserak di pasar, tlotoar dan  dijalanan yang berdebu. Belum lagi, diperparah dengan kondisi keterpurukan bangsa ini, akibat keserakahan dan ulah para koruptor yang menjarah uang Negara. Adalah sebuah realitas dan potret buram bangsa yang besar ini.

Semua deskripsi di atas mengantarkan pada kita, akan kebenaran contoh adanya ”realitas” dunia. Meskipun sebenarnya realitas itu adalah sesuatu kenyataan yang bisa diterima atau tidak oleh akal sehat (reason). Dan disinilah letak pertentangan antara aliran realisme skolastik dan new realism (sebagaimana nanti penulis jelaskan). Karena menurut Imanuel Kant, dunia ini terdiri dari dua realitas: yaitu fenomena dan noumena. Dunia empiris yang terjangkau oleh nalar, pancaindera  dan bisa diamati adalah dunia fenomena. Sementara kebalikanya adalah noumena. Sesuatu yang tidak bisa terjangkau oleh nalar, bukan fisik atau empiris. Contoh ditemukan seorang wanita berpenyakit aneh di Kalimantan, yang sekujur perutnya bermunculan kawat. Secara medis, jenis penyakit ini, mustahil dan tidak ditemukan obatnya. Tetapi, begitulah realitasnya, penyakit tersebut benar-benar ada dan bisa berangsur sembuh dengan cara non-medis (lewat zikir dan do’a).

“Realitas” baik bisa dicandra ataupun tidak oleh pancaindera manusia, dengan begitu telah menunjukkan kebenaran atas keberadaanya. Sebab, meminjam analisis Ali Harb (2006: 35), apa mungkin sebuah entitas itu tidak ada tanpa nama? Sesuatu disebut dengan sebutan klepon oleh orang jawa, pasti menggambarkan realitas yang menunjukkan keberadaan sesuatu, bukan imajinasi dan khayalan (dalam dunia dongeng). Melainkan sebuah nama yang menjelaskan   sebuah jenis makanan yang terbuat dari bahan-bahan yang bisa dinikmati dan dirasakan (ada wujudnya). Begitu pula kenapa ada istilah jin, setan, demit, malaikat, dan semua jenis makhluk gaib lainya. Semua istilah ini pastilah ada wujud yang menggambarkan keberadaanya. Karena tidak ada entitas yang dapat dirujuk kepada beragam entitas lainya, atau memiliki sifat sama dengan entitas yang berbeda tersebut, atau berwujud sebuah entitas yang sulit didefinisikan.

Relevan dengan pernyataan itu, maka tak salah jika Nitze pernah membaca pernyataan Ibn’Arabi (dalam Ali Harb: 36) yang berbunyi ”Siapa yang mengetahui hakikat sesuatu, maka ia telah menerima kunci ilmu pengetahuan”. Jadi realisme yang membicarakan tentang persoalan yang sesungguhnya, merupakan sesuatu yang urgen untuk membuka tabir dibalik rahasia alam. Membicarakan entitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas) dengan bantuan symbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia (Calhoun, 2002). Bisa dikatakan, realisme selalu membicarakan dan melakukan penyelidikan secara terus menerus akan eksistensi sebuah  kebenaran. Sesuatu disebut “kebenaran” atau scientific truth, dalam prespektif realisme tidak cukup dikatakan, tetapi harus melalui proses pembuktian akan kebenaranya, melalui  observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Sayang, aliran realisme yang seharusnya mengantarkan cara pandang manusia agar memahami dunia beserta isinya, dengan bantuan inderanya dalam praktik di sekolah lebih menekankan pada cara pandang yang parsial, dikotomik. Seolah-olah dunia ini hanya terdiri dari alam material dan menafikan eksistensi tuhan (ateis) . Akhirnya, pandangan dunia ilmiah yang diklaim memiliki nilai kebenaran data-data empiris tersebut, menyebabkan manusia terperosok pada alam materialistik dan, serba kebendaan dan menimbulkan “malapetaka” atau  tragedi kemanusiaan. Patut disayangkan bukan?          

    

Realisme: Antara Esensi dan Eksistensi

Telah menjadi sebuah fakta tak terbantahkan, bahwa dunia dengan seluruh isinya adalah sebuah misteri bagi manusia. Aliran-aliran dalam filsafat pun berebut untuk berperan dan menafsiri dunia ini dengan cara pandang dan paradigmanya masing-masing. Tentang persoalan ini, Mangunhardjono (1997:195) menerangkan, sesungguhnya terdapat aliran filsafat yang disebut nominalis menganggap dunia ini adalah objek yang dipersepsi dan dalam kenyataan sebenarnya tidak ada (just name). Kaum idealis berkeyakinan bahwa objek itu hanya pada budi. Orang materialis berpendirian bahwa kebenaran dalam dunia adalah serba benda materi. Di luar benda materi tidak ada kenyataan lain. Sementara terdapat aliran filsafat yang berada diantara nominalisme, idealisme, dan materialisme yaitu; realisme.

Istilah realisme berasal dari Bahasa Latin ”realis” yang berarti ”sungguh-sungguh, nyata benar”. Realisme adalah filsafat yang menganggap bahwa terdapat satu dunia eksternal nyata yang dapat dikenali.

Realisme mengakui dan menerima kesatuan antara esensia dan eksistensia, hakikat dan keberadaan objek yang ditangkap pancaindra dan dimengerti oleh budi. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill, Thomas Aquinas, Broudy, Martin dan Pestalozi.

Kalau kita lacak dalam sejarah, sebagaimana penjelasan Adrian M. Dupuis dan Robert B. Nordberg dalam buku Philosophy and Education; A Total View (1973)—pada  abad pertengahan realisme mengalami puncak kejayaan dan bisa berkembang dengan aliran-aliran yang berbeda-beda. Pada abad ini terdapat dua aliran, yaitu  (1). aliran realisme tradisional dengan tokohnya Duns Scotus dan (2). Aliran realisme modern, tokohnya adalah; Maritain, Hutchin Mortimer Adler.

Munculnya aliran realisme modern karena menolak orientasi supernaturalistik dan kepercayaan metafisik dari realisme skolastik. Di samping pandanganya di dasarkan pada pandangan realisme tradisional, yang mengakui eksistensi benda, objek atau elemen-elemen realitasnya itu ada; apakah pikiran manusia menyadari atau tidak. Sementara dalam perkembanganya, aliran realisme modern yang sering disebut dengan istilah non-scolastic memunculkan aliran scientific realism dan terbagi menjadi tiga aliran,yaitu (1). Realisme naturalistic (2) realisme evolusioner dan (3) New realism, dengan tokohnya Bertrand Russell dan Frederick Breed.  

Sedangkan yang termasuk dalam katagori realisme kontemporer dalam filsafat pendidikan tokohnya adalah Harry S. Broudy. Ia mengembangkan sistem filsafat pendidikan yang disebut dengan Classical Realism dan didasarkan pada teori-teori yang dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles.       

Sebagai sebuah aliran filsafat, realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode induksi empiris. Bertolak dari realisme analitis, sebagaimana paham yang dianut oleh Betrand Russell, seorang filsuf yang sangat konsisten dengan fondasi filosofis realism—semua pengetahuan yang valid haruslah riil secara empiris dan logis (Christiadi Cohen, 2007). Realisme inilah yang menjadi dasar bagi teori korespondensinya tentang kebenaran.

Sebuah benda disebut dengan meja, bagi realisme harus benar-benar memiliki empat hal yaitu eksistensi kebendaan (fisik), eksistensi akal budi (non fisik), eksistensi verbal (lisan) dan eksistensi tulisan (Ali Harb, 2006: 31). Maksudnya, meja tersebut mempunyai struktur fisik wujud mejanya, eksistensi akal budi (non fisik) yang menggambarkan bentuk dan kegunaan meja tersebut. Apakah meja untuk makan, belajar, atau kepentingan-kepentingan lain biasanya sudah terdapat pada dunia ide penciptanya, sebelum betul-betul mewujud menjadi sebuah meja dan memiliki nama dan ditulis dengan nama meja tertentu sesuai kepentingan meja tersebut.       

Meskipun begitu, Paham realisme berpendapat bahwa eksistensi tidak tergantung dari pengetahuan; karena itu eksistensi dari sesuatu tidak berimplikasi ia diketahui. Sebaliknya idealism berpendapat bahwa pengetahuan dapat ada (exist) hanya jika ia diketahui; karena itu eksistensi tergantung dari pengetahuan. Dalam pandangan realisme yang ada seluruhnya merupakan dunia material. Dalam dunia yang seperti ini ada hal-hal yang tentangnya kita tidak memimiliki pengetahuan (kita tidak mengetahuinya).

 

Tree Basic Doctrines

Terdapat tiga doktrin yang melekat pada aliran Realisme yaitu; (1). There is a world of real existence which men have not made  or constructed , (2). This real existence can be known by the human mind, (3). Such knowledge is the only reliable guide to human conduct, individual n  Social (Gulek, 1974:28).

Berdasarkan tiga masalah pokok yang dijadikan landasan realism dalam melihat realitas dunia ini, yang melahirkan sumber pengetahuan yang membedakan dengan aliran-aliran yang ada di dalam filsafat. Realisme berpandangan bahwa objek persepsi indrawi dan pengertian sungguh-sungguh ada, terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya karena objek itu memang dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat ilmu filsafat.

Bagi realisme keberadaan dunia yang mewujud ini, benar-benar mewujud dengan sendirinya, bukan dikontruk oleh pemikiran manusia. Keberadaan benda-benda, alam semesta dengan seluruh isinya merupakan kenyataan yang berdiri sendiri dan akal dapat menangkap keberadaan alam semesta tersebut. Selain itu, beberapa pengetahuan yang dimiliki manusia sebenarnya dapat dijadikan petunjuk bagi perilaku manusia, baik secara individual maupun sosial.

Epistimologi

Proses memperoleh pengetahuan dalam prespektif realisme, menurut JA. Akinpelu dapat dilakukan  melalui dua cara yaitu;

1).  The process of knowing is that of mind responding to impressions that are made upon it from external sources

2). Our sense are sources of knowledge. Our statement of that knowledge is true if it corresponds to what we later find to be the case (Akinpelu, 1981: 138).

Proses penangkapan indera sebagai medium terhadap dunia luar bisa menjadi sebuah sumber pengetahuan. Sebab kenyataan dunia ketika menjadi sebuah fakta adalah memungkinkan memiliki sebuah pengetahuan objektif.  Tentu saja, penangkapan indera terhadap dunia luar tersebut dipengaruhi oleh rasio, nilai dan ide seseorang. Makanya bisa saja menagkap dunia luar, akan memiliki perbedaan persepsi tergantung siapa yang melihatnya. Tetapi realitas apa yang dilihat oleh seseorang, meskipun memiliki perbedaan gambaran tentang realitas itu sesuai latarbelakang orang yang melihatnya—tetap keberadaan sesuatu tersebut “ada dan mewujud” sebagaimana adanya.   

 Dunia luar sesungguhnya secara objektif telah menyediakan beragam pengetahuan tergantung bagaimana akal bisa menyerap dan meresponnya. Terdapat dunia hewan, tumbuh-tumbuhan dengan beraneka ragam jenis dan modelnya, kita bisa memahami seluk beluk realitas kebenaran akan hewan dan tumbuh-tumbuhan apabila kita dengan sungguh-sungguh mencoba melakukan penyeledikan tentangnya.   Apa yang mampu kita tangkap dan candra tentang dunia flora dan fauna, maka sebenarnya kita sudah memiliki pengetahuan tentangnya. Sebab, panca indera bagi realism, sebenarnya merupakan sumber dari ilmu pengetahuan. Pernyataan tentang pengetahuan yang kita peroleh dan kita menyatakan sesungguhnya kita telah mengetahui tentang dunia tumbuh-tumbuhan dengan mampu menyebut nama, jenis, karakter dan fungsinya—ini bisa disebut sebagai sebuah ilmu dan diakui kebenarannya apabila apa yang kita jelaskan memang sesuai dengan realitas  atau berkorespondensi dengan kasus tentang dunia tumbuh-tumbuhan.

Tentu saja suatu hal disebut sebuah ilmu dan diakui memiliki derajat kebenaran apabila memenuhi beberapa syarat seperti melalui metode ilmiah, artinya proses penyeledikan yang dilakukan untuk mengetahui dunia flora dan fauna tersebut berelangsung menurut suatu rencana tertentu atau menurut C. A.Van Peursen (1985: 16-23)  metode disini berarti “suatu jalan yang harus ditempuh”. Selain itu, bahasa yang digunakan menggunakan bahasa ilmiah yang diatur oleh kaidah-kaidah logis (seperti menggunakan logika Aristoteles yang terkenal itu), melalui observasi ilmiah dan klasifikasi atau penggolongan. Sehingga proses penelitian dan observasi yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya, dapat memberikan informasi penting yang bermanfaat bagi manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan—karena dilakukan dalam kerangka ilmiah dan tidak sembarangan.       

 

Pendidikan dalam Prespektif Realisme

Karena realisme memandang pengetahuan adalah gambaran atau copy dari apa yang ada di dalam nyata. Maka proses pencarian kebenaran dalam pendidikan harus senantiasa melibatkan pegalaman inderawi. Pendidikan disini harus mendekatkan anak pada dunia, alam atau kejadian nyata sebagai objek yang dapat diamati.

Proses pendidikan dengan begitu, tidak menjauhkan peserta didik dari pengalaman nyata yang bisa dilakukan dan dialami sendiri secara langsung. Sebab, Dagobert sebagaimana dikutip Abdul Djamil (1996: 69-70), pernah menyatakan that sense experience report a true and uninterrupted, if limited, account of objects; that is possible to have faithfuland direct knowledge of the actual world.

Kenyataan tersebut tidak lepas dari hakikat kenyataan dalam prespektif realisme yang dilihat sebagai hal atau benda. Jadi, bukan sesuatu yang terlepas atau dilepaskan dari pemiliknya. Oleh karena itu, wajar bila yang menjadi perhatian pertama dalam pendidikan adalah apa yang ada pada peserta didik (Imam Barnadib, 2002: 15).    

Selain itu, pengetahuan dalam prespektif realisme harus didasarkan pada sebuah kepastian. Perubahan tidak dapat dijadikan sebagai landasan bagi teori atau praktik pendidikan, tetapi sebagai pelengkap (instrumental). Sebab, realisme berkeyakinan perubahan sungguh sebuah realitas, tetapi semua perubahan terjadi menurut hukum yang pasti.  Dengan begitu, karena realitas pendidikan harus didasarkan pada apa yang disebut dengan facets of reality dan permanence and change. Maka, peserta didik dalam praktik pendidikan dapat belajar tentang apa yang telah ditemukan orang lain tentang dunia (Adrian M. Dupuis, 1973:171).

Pendidikan menurut realism diartikan sebagai sebuah proses mengembangkan kemampuan manusia agar mampu mengetahui sebuah kebenaran. Dan Tujuan utama pendidikan adalah mencapai pengetahuan alam dan mengetahui bagaimana  alam semesta  bekerja.

Terdapat empat tujuan pendidikan menurut aliran realism,yaitu (1). To discern the truth about things as the really are (2). To extend and integrated such truth as is known (3). To gain such practical knowledge of life in general and of professional functions in particular as can be theoretically grounded and justified (4). To transmit this in a coherent and convincing way both to young and to old throughout the human community.   

Adapun fungsi pokok pendidikan adalah petunjuk tentang proses belajar. Dalam konteks ini, pendidikan harus membimbing peserta didik menemukan dan memahami dunia sekitarnya. Kurikukum yang harus diberikan pada mereka adalah mengenai “the truth tradition”. Dan metodologi yang digunakan harus active, sebab degan begitu memungkinkan bagi guru untuk mampu mengembangkan kekuatan intelektual dan menemukan sebuah integrasi pengetahuan dunianya.

Selain itu, pendidikan berfungsi membantu peserta didik untuk membentuk “habit”, watak, dan tendenci mencari kebenaran, memahami, menikmati dan menggunakannya dalam setiap aspek kehidupan. Sedangkan kebenaran itu terdapat pada kebudayaan dan terdapat nilai-nilai objektif pada kultur, norma dan standar  moralitas, yang  tidak tergantung pada apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh setiap masyarakat. Oleh sebab itu, nilai-nilai kultur yang  objektif  dan standar moralitas harus membentuk  kurikulum inti yang bermanfaat bagi pendidikan. Relevan dengan persoalan ini, maka bagi realisme pendidikan secara esensial berfungsi mentransmisikan warisan kebudayaan dari satu generasi kegenerasi selanjutnya.

Metodologi dalam pendidikan menurut realisme dengan begitu harus mempertimbangkan beberapa hal sebabagai berikut: pertama, secara ontologis pendidikan harus melihat peserta didik dipandang seperti apa adanya, utuh dan tidak teredukdi sedikitpun.  Mereka bisa dijadikan sebagai sasaran untuk dipelajari apa adanya. Kedua, dari sisi epistimologis, dimana dalam prespektif realisme pengetahuan adalah hasil yang dicapai melalui proses dimana antara subjek dan objek mengadakan pendekatan. Maksudnya adalah, hasil sebuah pengetahuan merupakan perpaduan antara pengamatan, pemikiran, dan kesimpulan dari kemampuan manusia dalam menyerap objeknya. Praktik pendidikan dengan begitu, harus didasarkan pada hasil pengamatan terhadap realitas empirik mengenai peserta didik yang dipelajari secara ilmiah. Dan ketiga, dalam hal aksiologi pendidikan, peserta didik dianggap sebagai agen yang ikut menentukan hakikat nilai.  Mereka sebagai manusia unik yang harus dilibatkan dalam mengkontruk sebuah nilai. Tidak boleh ada paksaan sebuah nilai yang harus diberikan kepada peserta didik.   

    

Kritik Atas Paradigma Positivistik

Tradisi pemikiran realisme yang lebih menekankan pada objektifitas dan netral dalam mencari ilmu pengetahuan, nampaknya sangat mengilhami paradigma positivisme.  Dimana ontologi yang dibangun mengasumsikan adanya sebuah realitas yang nyata adanya dan sepenuhnya dapat difahami (apprehendable). Terdapat realitas di luar sana yang perlu dipelajari, ditangkap dan dipahami. Epistimolgi positivistic adalah dualis dan objektif. Sedangkan metodologinya mengakar pada tradisi sains yang kental dengan sifat eksperimental dan manipultaif.

Karena menekankan objektifitas, maka karakteristik positivistic biasanya lebih cenderung struktural, behavioristik dan kuantitatif. Artinya, ketika hal ini diterapkan dalam mencandra realitas sosial maka akan terjadi masalah, sebab manusia sebagai makhluk sosial adalah bersifat dinamis dan bebas. Manusia bukan seperti benda-benda lain yang menjadi sumber ilmu pengetahuan, yang menurut Kerlenger (1973) bersifat observable, repeatable, measurable, testable, dan predictable. Melainkan manusia adalah makhluk dengan penuh misteri yang sulit dipahami. Ia memiliki jiwa, ruh, spirit, kemauan, instropeksi, kesadaran, subjektivitas,dan lain-lain.

Wajar jika sehubungan dengan ilmu positivistic yang terkenan dominan dalam memandang manusia ini, seorang sosiolog K.J Veeger (1984: 231-252), pernah mengkritik keras karena bisa menyebabkan manusia dianggap memiliki hukum yang sama dengan ilmu pengetahuan yang harus bersifat objektif, berulang kali, dan kesalingketergantungan antar unsur-unsurnya. Semua itu berakibat fatal bagi manusia karena selama ini manusia dipandang sebagai objek yang kehilangan kebebasanya sebagai manusia, ia diasingkan dari diri sendiri, tidak merasa bebas dan berkuasa atas hidupnya sendiri. Lebih jauh Veejer menjelaskan sesungguhnya  manusia adalah makhluk religius, sebab manusia memiliki apa yang disebut religious kesadaran manusia yang percaya bahwa Di atas dan dibawah tata fenomena yang beraneka-warna, bersembunyilah “Ada Sejati”atau, menurut Plato, to ontos on, yaitu Realitas yang mendasari segala realitas,Yang Tunggal tanpa ada lawanya.

Relevan dengan kenyataan hakikat manausia tersebut, sebenarnya manusia adalah sebagai makhluk tuhan yang mempunyai sifat transendental, artinya ia mempunyai sifat dan upaya untuk selalu lebih dari keadaannya. Ia memiliki cita-cita, motivasi, kehendak agar kehidupan yang dijalani didunia ini semakin baik meningkat, baik, sejahtera dan bermartabat.       

Lebih dari itu, meskipun terkesan canggih, positivisme lebih menawarkan pengetahuan yang bersifat sempit dan kurang humanistic. Secara umum, meteodologinya bersifat etnosentris, memihak kepada Negara maju yang telah lama menguasai ilmu pengetahuan. Hal ini membawa konsekuensi yang kurang menguntungkan, tentu saja. Sebab, Negara-negara berkembang seperti Indonesia akan selalu menjadi tersubordinasi dan menolak pengalaman kehidupan yang dinamis. Padahal pada kenyataannya, teori-teori yang dikonstruk Barat selama ini terkesan “dipaksakan” dan tidak bisa menjawab serta memecahkan permasalahan-permasalah di Negara kita, maka salah satu alternatifnya, kita harus menggunakan “teori kritis” agar memungkinkan bagi masyarakat kita untuk membangun, mengkonsep dan menemukan sebuah teori khas Indonesia yang bersumber dari tradisi dan kebudayaannya sendiri.  


Praktik Pendidikan di Indonesia: Sebuah Refleksi

Kalau melihat pendidikan di Indonesia, meskipun sangat diwarnai oleh aliran positivistic tetapi justru terjebak pada pencarian kebenaran yang bersifat mekanik dan menggeser peran manusia sebagai pribadi yang unik dengan segala potensi yang dimilikinya. Karena, paradigma positivistic yang pada awalnya bersumber pada realisme—dalam implementasinya tidak memberikan fleksibelitas kepada peserta didik dalam menentukan sebuah kebenaran.

Padahal kebenaran dalam prespektif positifistic, yang pada awalnya bersifat determinsitik, mekanik dan materialistik. Pandangan seperti ini, dalam perkembangan di dunia filsafat sains,  telah banyak mengalami kritikan. Lebih-lebih setelah ditemukan teori mekanika kuantum sebuah perkembangan mutakhir dibidang fisika. Yang oleh Zainal Abidin Bagir (2003: 16), telah menyebabkan pembalikan pandangan yang tak deterministic dan tak mekanis. 

Paradigma pendidikan yang lebih menitik beratkan pada positivistic tersebut, sejatinya telah memberikan pandangan dunia sebagai realitas independen dan otonom. Padahal sejatinya, dunia ini meskipun memiliki daya-daya alamiyah, seperti gelombang nuklir lemah, elektromagnetik, bahkan gravitasi oleh para filsuf muslim,seperti al-Farabi, IbnSina,dan Ibnu Rusys, selalu dikaitkan dengan daya kosmik, samawi dan transenden. Bahkan manusia, yang oleh saintis hanya dipandang sebagai makhluk fisik-kimia, oleh para filsuf dan mistika muslim dipandang sebagai “mikrokosmos”. Meskipun manusia secara fisik tidak signifikan, ia dianggap memiliki segala macam unsur kosmik, dari mineral, tumbuhan, hewan, dan bahkan spiritual (Mulyadi Kartanegara, 2003: 70-71).

Artinya, untuk mengembalikan praktik pendidikan di Indonesia  agar mencapai sebuah tujuan seperti yang diharapkan sudah seharusnya memiliki perpaduan paradigma yang tidak dikotomik, antara positivistik dan non-positivistik. Sehingga, benar-benar mampu menghasilkan manusia yang holistic atau insan al-kamil. Sebab, dalam mencari pengetahuan tidak terperosok pada egoisme kemanusiaannya, tetapi tetap menyertakan adanya campur tangan Tuhan.

Unsur kecerdasan dan rasionalitas sebagai sesuatu anugerah Tuhan mutlak diperlukan dalam mencari dan menemukan (ciourisity) ilmu pengetahuan. Tetapi, hal ini harus selalu dipantulkan pada kebenaran agama sehingga terjadi hubungan sinergis dan harmonis antara akal dan wahyu. Akhirnya,  penggalian ilmu pengetahuan tersebut membawa kemaslahatan bagi hidup dan kehidupan manusia.    

Dalam praktiknya, pendidikan dalam prespektif realisme dengan begitu harus senantiasa lebih mendekatkan realitas kebenaran pada peserta didik. Sebab, menurut John Locke salah seorang tokoh realism, pengalaman riil atau experience memiliki peranan yang sangat penting  bagi seorang anak dalam mencari ilmu pengetahuan. Lebih lanjut ia berkata: stressing the relationship between the environment n human thought, said: “whence has all the  materials of reason and knowledge? to this answer, in one word, experience (lihat Joan I. Robert, 1973). Jadi mereka sendiri yang melihat, mendekati dan menemukan sebuah kebenaran itu. Bukan sebuah kebenaran yang sudah di paket dalam buku dan dikuasai oleh para guru. Sementara anak-anak didik hanya boleh mengamini saja. Celakanya lagi, pintar dan tidak pintarnya seseorang hanya ditentukan pada Ujian Akhir Nasional.

Selain itu, proses pendidikan tidak harus ditekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan yang sebesar-besarnya pada anak yang harus dihapal dan dikuasai (having), tanpa harus mengerti untuk apa pengetahuan yang dimilikinya tersebut. Sehingga, semakin banyak hapalan teori semakin jauh ia dari realitas masyarakatnya. Melainkan, pegetahuan yang diperoleh di sekolah harus membentuk sebuah kepribadian yang diharapkan dan “merubah dunia”. Inilah istilah teori pendidikan yang sering disebut dengan learning by doing. Sebagaimana anjuran Jean-Jacques Roussue ketika  menulis sebuah novel klasik yang berjudul Emile, yang diambil dari nama anaknya.

Tak salah, jika melihat pendidikan di Negara kita karena menekankan pada pembelajaran yang tidak holistik—meskipun sudah banyak diajarkan tentang konsep nilai-nilai kemanusiaan, seperti; gotong-rorong, toleransi, peduli terhadap sesama. Pada praktiknya, mereka banyak yang berlaku dan bertindak tidak manusiawi. Seringnya tawuran, kekerasan dan anarkisme di masyarakat kita semakin membenarkan,  jauhnya penerapan nilai-nilai yang telah diajarkan di sekolah itu.

Letak kesalahanya adalah bukan pada tataran konsep yang diajarkan tersebut pada peserta didik. Tetapi, mereka merasa asing dan tidak terbiasa dengan nilai-nilai kebaikan tersebut, ketika harus hidup di tengah-tengah masyarakat. Mereka hapal betul tentang pluralitas masyarakat Indonesia. Tetapi, mereka tidak mengerti dan menyadari kemajemukan agama, etnis, kultur yang berada di tengah-tengah msyarakat dimana ia bertempat tinggal. Sehingga tidak bisa berbuat banyak dengan sejumlah teori pluralitas yang diajarkan sekolah. Karena hanya berhenti pada tingkatan knowing (mengetahui kemajemukan), tidak sampai feeling (merasakan adanya kemajemukan) apalagi sampai doing (bersikap dan menghargai kemajemukan).

Padahal dalam presepektif realisme, pendidikan seharusnya mengajarkan sebuah objek atau pengetahuan “apa adanya” kepada peserta didik. Sehingga mereka dapat membuktikan sendiri akan pengetahuan itu. Tentang konsep realitas kemajemukan seperti itu misalnya, tentu saja tidak cukup untuk dikatakan dan murid hanya terampil menyebut sejumlah angka-angka perbedaan di masyarakat. Tetapi mereka betul-betul didekatkan dengan kenyataan perbedaan di masyarakat tersebut. Sehingga, mereka menyadari  dan terbiasa dengan perbedaan ini. Misal saja, mereka diajak melihat keanekaragaman agama dimasyarakat. Sehingga memungkinkan mereka  berkomunikasi dan bersosialisasi secara langsung dengan masyarakat yang memiliki keanekaragaman budaya, agama dan etnis. Mereka tentu saja akan mengerti secara langsung perbedaan-perbedaan  agama dengan tempat ibadah dan tatacara sembahyangnya. Secara otomatis juga terjadi pengalaman yang tidak hanya melibatkan kognitif saja, tetapi perasaan afeksi dan psikomotorisnya sekaligus. 

 

Referensi:

Akinpelu, JA (1981), An Introduction to Philosophy of Education, London: Macmillan Publisher.

Bargir, Zainal Abidin (2003), Pluralisme Pemaknaan dalam Sains dan Agama, dalam   Journal Relief: Agama & Sains, vol.1 no1.

Barnadib, Imam (2002), Filsafat Pendidikan,  Yogyakarta: AdiCita.

Calhoun, C, (2002), Dictionary of the social science, Oxford University Press, Oxford.

Cohen, Christiadi (2007), Bahasa Menurut Ontology Realisme Analitis BERTRAND RUSSEL, STULOS 6/1 (April ).

Dupuis, Adrian M dan Nordberg, Robert B. (1973), Philosophy and Education; A Total View, USA: The Bruce Publishing Company. 

Gulek, Gerald Lee, (1974), Philosophical Alternatives in Education, Ohio: A Bell & Howell Company. 

Harb, Ali (2006) Asilah al-Haqiqahwa Rahanat al-Fikr: Muqarabat Naqdiyah wa Sijaliyyah, diterjemahkan oleh Umar Bukhory “Relativitas Kebenaran”, Yogyakarta: IRCiSoD.

Kartanegara, Mulyadi (2003), Ketika Sains Bertemu Filsafat dan Agama, dalam Journal Relief: Agama & Sains, vol.1 no1 tahun.

Mangunhardjana, A. (1997),  Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z,Yogyakarta: Kanisius.

Persen, Van C.A. (1985), De Opbouw van de Wetenschap een inleiding de wetenschapsleer diterjemahkan oleh J. Drost “Susunan Ilmu Pengetahuan”, Jakarta: PT Gramedia.

Robert, Joan I. (1976),  “An Overview of Antropology and Education”,dalam  Joan I. Roberts dan Sherrie K.Akinsanya, Educational patterns n cultural configurations :The Antropology of Education, New York: DavidMcKay Company.

Veeger, KJ.  (1984), Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia.

 

*Penulis: Gurus Besar, Pengasuh Pesantren Riset Al-Khawarizmi, dan Dekan FPK UIN Walisongo Semarang

 (Tulisan ini telah terbit di Nadwa: Jurnal Pendidikan Islam)

 

 

 


Post a Comment

0 Comments