Filsafat realisme memandang dunia sebagai sebuah fakta objektif, dengan penekanan pada pengalaman empiri dalam memperoleh sebuah pengetahuan, menarik diangkat kembali dalam upaya mencandra realitas pendidikan di Indonesia yang “jomplang”. Sebab, terdapat sistem pendidikan kita yang cenderung meninggalkan studi empirik dan terkesan “melangit”. Sehingga hanya mengajarkan pada peserta didik sebuah pengetahuan abstrak yang jauh dari kenyataan. Di sisi lain, terdapat juga yang terjebak memandang dunia hanya alam materealistik, sehingga menyebabkan manusia egois dan sombong serta teralineasi dari nilai-nilai kearifan. Untuk kasus yang terakhir, karena paradigma yang dibangun didasarkan pada positivisme yang ontologisnya bersumber dari realisme—nampaknya sangat mendominasi wajah pendidikan di Negara kita. Padahal, dengan berbagai paradigma aliran realisme, baik itu realisme tradisional maupun realism modern atau kritis—semakin menyakinkan bahwa alam beserta isinya adalah sebuah misteri yang perlu didekati bukan tataran materialistik dan mekanistik belaka. Terdapat dunia lain yang tidak bisa ditangkap dengan kekuatan nalar dan harus kita yakini keberadaanya, sehingga menimbulkan harmoni antara manusia dengan Tuhan dan alam sekitarnya.
Kata
Kunci: Realisme kritis transendental, Pendidikan, & Positivistic
Pendahuluan
Realitas..! begitu sering kita
mendengar istilah yang satu ini. Sebuah istilah misterius dan kontrofersial
yang sering melekat pada sebuah objek atau benda. Bisa jadi, istilah ini
berkonotasi baik atau buruk, kabar gembira yang menyenangkan atau pengalaman
pahit. Sebagai contoh realitas berarti negatif
adalah praktik pendidikan kita yang lebih mengutamakan angka atau fisikalisasi
seperti; IP, Rangking, dan Ijazah—daripada substansi, sehingga menyebabkan
terdistorsinya nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan fenomena mengejar predikat Guru Besar dengan melakukan praktik perjokian dalam menulis jurnal Scopus, dan lain sebagainya. Merupakan sebuah realitas yang menampar sakralitas dunia pendidikan, tidak boleh
dianggap sepele, dan harus segera dicarikan pemecahanya. Dalam konteks ini,
memandang manusia secara holistik, sebagai makhluk materi dan immateri
sekaligus, paling memungkinkan untuk mengembalikan manusia sebagai pribadi yang
utuh (insan kamil).
Berbeda pula ungkapan realitas yang
menunjukkan arti sebuah “malapetaka atau nasib”, bagi koruptor Nazaruddin. Setelah
ditangkap di Cartagena, Kolombia, tersangka dugaan suap kasus pembangunan wisma
atlet di Palembang itu. Meskipun, selalu berkelit dan mempertahankan diri dari
semua tudingan yang dialamatkan kepadanya, bahkan selama masa pelariannya
banyak bicara dan menuding sejumlah tokoh Partai Demokrat terlibat dalam aliran
dana ilegal ia akhirnya pun, banyak diam dan harus ditahan di Rumah Tahanan
Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.
Lain Nazaruddin, lain pula makna
realitas seperti bagi masyarakat umum atau orang tua yang sukses maupun gagal
dalam mendidik anaknya. Kegagalan bagi mereka adalah sebuah kenyataan hidup yang
harus diterima apa adanya. Siapa sangka, meskipun mereka sudah berusaha
semaksimal mungkin, dengan mengirim putra-putrinya ke sekolah setelah lulus
tidak menjadi seperti yang mereka impikan, malah menjadi pengangguran. Ini,
mungkin disebabkan putara-putri mereka selama sekolah hanya mengejar gelar,
nilai/IP dan lebih mementingkan hardskill
daripada softskill.
Sebuah negeri yang terkenal dengan
sebutan gemah ripah loh jinawi,
sebuah penggambaran ideal tentang Negara kita yang subur dan makmur, tetapi
pada kenyataanya sekarang, masih banyak ditemukan orang miskin, pengemis,
gelandangan dan orang-orang yang berserak di pasar, tlotoar dan dijalanan yang berdebu. Belum lagi,
diperparah dengan kondisi keterpurukan bangsa ini, akibat keserakahan dan ulah
para koruptor yang menjarah uang Negara. Adalah sebuah realitas dan potret
buram bangsa yang besar ini.
Semua deskripsi di atas mengantarkan
pada kita, akan kebenaran contoh adanya ”realitas” dunia. Meskipun sebenarnya
realitas itu adalah sesuatu kenyataan yang bisa diterima atau tidak oleh akal
sehat (reason). Dan disinilah letak
pertentangan antara aliran realisme skolastik dan new realism (sebagaimana
nanti penulis jelaskan). Karena menurut Imanuel Kant, dunia ini terdiri dari
dua realitas: yaitu fenomena dan noumena. Dunia empiris yang terjangkau oleh
nalar, pancaindera dan bisa diamati
adalah dunia fenomena. Sementara kebalikanya adalah noumena. Sesuatu yang tidak
bisa terjangkau oleh nalar, bukan fisik atau empiris. Contoh ditemukan seorang
wanita berpenyakit aneh di Kalimantan, yang sekujur perutnya bermunculan kawat.
Secara medis, jenis penyakit ini, mustahil dan tidak ditemukan obatnya. Tetapi,
begitulah realitasnya, penyakit tersebut benar-benar ada dan bisa berangsur
sembuh dengan cara non-medis (lewat zikir dan do’a).
“Realitas” baik bisa dicandra ataupun
tidak oleh pancaindera manusia, dengan begitu telah menunjukkan kebenaran atas
keberadaanya. Sebab, meminjam analisis Ali Harb (2006: 35), apa mungkin sebuah
entitas itu tidak ada tanpa nama? Sesuatu disebut dengan sebutan klepon oleh orang jawa, pasti
menggambarkan realitas yang menunjukkan keberadaan sesuatu, bukan imajinasi dan
khayalan (dalam dunia dongeng). Melainkan sebuah nama yang menjelaskan sebuah
jenis makanan yang terbuat dari bahan-bahan yang bisa dinikmati dan dirasakan
(ada wujudnya). Begitu pula kenapa ada istilah jin, setan, demit, malaikat, dan
semua jenis makhluk gaib lainya. Semua istilah ini pastilah ada wujud yang
menggambarkan keberadaanya. Karena tidak ada entitas yang dapat dirujuk kepada
beragam entitas lainya, atau memiliki sifat sama dengan entitas yang berbeda
tersebut, atau berwujud sebuah entitas yang sulit didefinisikan.
Relevan dengan pernyataan itu, maka
tak salah jika Nitze pernah membaca pernyataan Ibn’Arabi (dalam Ali Harb: 36)
yang berbunyi ”Siapa yang mengetahui hakikat sesuatu, maka ia telah menerima
kunci ilmu pengetahuan”. Jadi realisme yang membicarakan tentang persoalan yang
sesungguhnya, merupakan sesuatu yang urgen untuk membuka tabir dibalik rahasia
alam. Membicarakan entitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas)
dengan bantuan symbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia (Calhoun, 2002).
Bisa dikatakan, realisme selalu membicarakan dan melakukan penyelidikan secara
terus menerus akan eksistensi sebuah
kebenaran. Sesuatu disebut “kebenaran” atau scientific truth, dalam prespektif realisme tidak cukup dikatakan,
tetapi harus melalui proses pembuktian akan kebenaranya, melalui observasi dan pengembangan pemikiran baru dari
observasi yang dilakukan. Sayang, aliran realisme yang seharusnya mengantarkan
cara pandang manusia agar memahami dunia beserta isinya, dengan bantuan
inderanya dalam praktik di sekolah lebih menekankan pada cara pandang yang
parsial, dikotomik. Seolah-olah dunia ini hanya terdiri dari alam material dan
menafikan eksistensi tuhan (ateis) . Akhirnya, pandangan dunia ilmiah yang
diklaim memiliki nilai kebenaran data-data empiris tersebut, menyebabkan
manusia terperosok pada alam materialistik dan, serba kebendaan dan menimbulkan
“malapetaka” atau tragedi kemanusiaan.
Patut disayangkan bukan?
Realisme: Antara Esensi dan Eksistensi
Telah menjadi sebuah fakta tak
terbantahkan, bahwa dunia dengan seluruh isinya adalah sebuah misteri bagi
manusia. Aliran-aliran dalam filsafat pun berebut untuk berperan dan menafsiri
dunia ini dengan cara pandang dan paradigmanya masing-masing. Tentang persoalan
ini, Mangunhardjono (1997:195) menerangkan, sesungguhnya terdapat aliran
filsafat yang disebut nominalis menganggap dunia ini adalah objek yang
dipersepsi dan dalam kenyataan sebenarnya tidak ada (just name). Kaum idealis berkeyakinan bahwa objek itu hanya pada
budi. Orang materialis berpendirian bahwa kebenaran dalam dunia adalah serba
benda materi. Di luar benda materi tidak ada kenyataan lain. Sementara terdapat
aliran filsafat yang berada diantara nominalisme, idealisme, dan materialisme
yaitu; realisme.
Istilah realisme berasal
dari Bahasa Latin ”realis” yang berarti ”sungguh-sungguh, nyata
benar”. Realisme adalah filsafat yang menganggap bahwa terdapat satu dunia
eksternal nyata yang dapat dikenali.
Realisme mengakui dan menerima kesatuan
antara esensia dan eksistensia, hakikat dan keberadaan objek yang ditangkap
pancaindra dan dimengerti oleh budi. Beberapa
tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc
Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill,
Thomas Aquinas, Broudy, Martin dan Pestalozi.
Kalau kita lacak dalam sejarah, sebagaimana
penjelasan Adrian M. Dupuis dan Robert B. Nordberg dalam buku Philosophy and Education; A Total View (1973)—pada
abad pertengahan realisme mengalami
puncak kejayaan dan bisa berkembang dengan aliran-aliran yang berbeda-beda. Pada
abad ini terdapat dua aliran, yaitu (1).
aliran realisme tradisional dengan tokohnya Duns Scotus dan (2). Aliran
realisme modern, tokohnya adalah; Maritain, Hutchin Mortimer Adler.
Munculnya aliran realisme modern
karena menolak orientasi supernaturalistik dan kepercayaan metafisik dari
realisme skolastik. Di samping pandanganya di dasarkan pada pandangan realisme
tradisional, yang mengakui eksistensi benda, objek atau elemen-elemen
realitasnya itu ada; apakah pikiran manusia menyadari atau tidak. Sementara
dalam perkembanganya, aliran realisme modern yang sering disebut dengan istilah
non-scolastic memunculkan aliran scientific
realism dan terbagi menjadi tiga aliran,yaitu (1). Realisme naturalistic
(2) realisme evolusioner dan (3) New realism, dengan tokohnya Bertrand Russell
dan Frederick Breed.
Sedangkan yang termasuk dalam
katagori realisme kontemporer dalam filsafat pendidikan tokohnya adalah Harry
S. Broudy. Ia mengembangkan sistem filsafat pendidikan yang disebut dengan Classical Realism dan didasarkan pada
teori-teori yang dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles.
Sebagai
sebuah aliran filsafat, realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan
terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam membangun ilmu
pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode induksi empiris. Bertolak
dari realisme analitis, sebagaimana paham yang dianut oleh Betrand Russell,
seorang filsuf yang sangat konsisten dengan fondasi filosofis realism—semua pengetahuan
yang valid haruslah riil secara empiris dan logis (Christiadi Cohen, 2007).
Realisme inilah yang menjadi dasar bagi teori korespondensinya tentang
kebenaran.
Sebuah benda disebut dengan meja,
bagi realisme harus benar-benar memiliki empat hal yaitu eksistensi kebendaan
(fisik), eksistensi akal budi (non fisik), eksistensi verbal (lisan) dan
eksistensi tulisan (Ali Harb, 2006: 31). Maksudnya, meja tersebut mempunyai
struktur fisik wujud mejanya, eksistensi akal budi (non fisik) yang menggambarkan
bentuk dan kegunaan meja tersebut. Apakah meja untuk makan, belajar, atau
kepentingan-kepentingan lain biasanya sudah terdapat pada dunia ide
penciptanya, sebelum betul-betul mewujud menjadi sebuah meja dan memiliki nama dan
ditulis dengan nama meja tertentu sesuai kepentingan meja tersebut.
Meskipun begitu, Paham realisme
berpendapat bahwa eksistensi tidak tergantung dari pengetahuan; karena itu
eksistensi dari sesuatu tidak berimplikasi ia diketahui. Sebaliknya idealism
berpendapat bahwa pengetahuan dapat ada (exist) hanya jika ia diketahui; karena
itu eksistensi tergantung dari pengetahuan. Dalam pandangan realisme yang ada
seluruhnya merupakan dunia material. Dalam dunia yang seperti ini ada hal-hal
yang tentangnya kita tidak memimiliki pengetahuan (kita tidak mengetahuinya).
Tree Basic Doctrines
Terdapat tiga doktrin yang melekat
pada aliran Realisme yaitu; (1). There is a world of real existence which men
have not made or constructed , (2). This
real existence can be known by the human mind, (3). Such knowledge is the only
reliable guide to human conduct, individual n
Social (Gulek, 1974:28).
Berdasarkan tiga masalah pokok yang
dijadikan landasan realism dalam melihat realitas dunia ini, yang melahirkan
sumber pengetahuan yang membedakan dengan aliran-aliran yang ada di dalam
filsafat. Realisme berpandangan bahwa objek
persepsi indrawi dan pengertian
sungguh-sungguh ada, terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya karena
objek itu memang dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan
ditemukan hakikatnya lewat ilmu filsafat.
Bagi realisme keberadaan dunia yang
mewujud ini, benar-benar mewujud dengan sendirinya, bukan dikontruk oleh
pemikiran manusia. Keberadaan benda-benda, alam semesta dengan seluruh isinya
merupakan kenyataan yang berdiri sendiri dan akal dapat menangkap keberadaan
alam semesta tersebut. Selain itu, beberapa pengetahuan yang dimiliki manusia
sebenarnya dapat dijadikan petunjuk bagi perilaku manusia, baik secara
individual maupun sosial.
Epistimologi
Proses memperoleh pengetahuan dalam
prespektif realisme, menurut JA. Akinpelu dapat dilakukan melalui dua cara yaitu;
1).
The process of knowing is that of mind responding to impressions that
are made upon it from external sources
2). Our sense are sources of
knowledge. Our statement of that knowledge is true if it corresponds to what we
later find to be the case (Akinpelu, 1981: 138).
Proses penangkapan indera sebagai medium terhadap dunia luar bisa menjadi sebuah sumber pengetahuan. Sebab kenyataan dunia ketika menjadi sebuah fakta adalah memungkinkan memiliki sebuah pengetahuan objektif. Tentu saja, penangkapan indera terhadap dunia luar tersebut dipengaruhi oleh rasio, nilai dan ide seseorang. Makanya bisa saja menagkap dunia luar, akan memiliki perbedaan persepsi tergantung siapa yang melihatnya. Tetapi realitas apa yang dilihat oleh seseorang, meskipun memiliki perbedaan gambaran tentang realitas itu sesuai latarbelakang orang yang melihatnya—tetap keberadaan sesuatu tersebut “ada dan mewujud” sebagaimana adanya.
Tentu saja suatu hal disebut sebuah
ilmu dan diakui memiliki derajat kebenaran apabila memenuhi beberapa syarat
seperti melalui metode ilmiah, artinya proses penyeledikan yang dilakukan untuk
mengetahui dunia flora dan fauna tersebut berelangsung menurut suatu rencana
tertentu atau menurut C. A.Van Peursen (1985: 16-23) metode disini berarti “suatu jalan yang harus
ditempuh”. Selain itu, bahasa yang digunakan menggunakan bahasa ilmiah yang
diatur oleh kaidah-kaidah logis (seperti menggunakan logika Aristoteles yang
terkenal itu), melalui observasi ilmiah dan klasifikasi atau penggolongan.
Sehingga proses penelitian dan observasi yang dilakukan dapat
dipertanggungjawabkan kebenaranya, dapat memberikan informasi penting yang
bermanfaat bagi manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan—karena dilakukan
dalam kerangka ilmiah dan tidak sembarangan.
Pendidikan dalam
Prespektif Realisme
Karena realisme memandang pengetahuan
adalah gambaran atau copy dari apa yang ada di dalam nyata. Maka proses
pencarian kebenaran dalam pendidikan harus senantiasa melibatkan pegalaman
inderawi. Pendidikan disini harus mendekatkan anak pada dunia, alam atau kejadian
nyata sebagai objek yang dapat diamati.
Proses pendidikan dengan begitu,
tidak menjauhkan peserta didik dari pengalaman nyata yang bisa dilakukan dan
dialami sendiri secara langsung. Sebab, Dagobert sebagaimana dikutip Abdul
Djamil (1996: 69-70), pernah menyatakan that
sense experience report a true and uninterrupted, if limited, account of
objects; that is possible to have faithfuland direct knowledge of the actual
world.
Kenyataan tersebut tidak lepas dari hakikat
kenyataan dalam prespektif realisme yang dilihat sebagai hal atau benda. Jadi,
bukan sesuatu yang terlepas atau dilepaskan dari pemiliknya. Oleh karena itu,
wajar bila yang menjadi perhatian pertama dalam pendidikan adalah apa yang ada
pada peserta didik (Imam Barnadib, 2002: 15).
Selain itu, pengetahuan dalam
prespektif realisme harus didasarkan pada sebuah kepastian. Perubahan tidak
dapat dijadikan sebagai landasan bagi teori atau praktik pendidikan, tetapi
sebagai pelengkap (instrumental). Sebab, realisme berkeyakinan perubahan sungguh
sebuah realitas, tetapi semua perubahan terjadi menurut hukum yang pasti. Dengan begitu, karena realitas pendidikan
harus didasarkan pada apa yang disebut dengan facets of reality dan permanence
and change. Maka, peserta didik dalam praktik pendidikan dapat belajar
tentang apa yang telah ditemukan orang lain tentang dunia (Adrian M. Dupuis,
1973:171).
Pendidikan menurut realism diartikan
sebagai sebuah proses mengembangkan kemampuan manusia agar mampu mengetahui
sebuah kebenaran. Dan Tujuan utama pendidikan adalah mencapai pengetahuan alam
dan mengetahui bagaimana alam
semesta bekerja.
Terdapat empat tujuan pendidikan
menurut aliran realism,yaitu (1). To
discern the truth about things as the really are (2). To extend and integrated such truth as is known (3). To gain such practical knowledge of life in
general and of professional functions in particular as can be theoretically
grounded and justified (4). To
transmit this in a coherent and convincing way both to young and to old
throughout the human community.
Adapun fungsi pokok pendidikan adalah
petunjuk tentang proses belajar. Dalam konteks ini, pendidikan harus membimbing
peserta didik menemukan dan memahami dunia sekitarnya. Kurikukum yang harus
diberikan pada mereka adalah mengenai “the truth tradition”. Dan metodologi
yang digunakan harus active, sebab degan begitu memungkinkan bagi guru untuk
mampu mengembangkan kekuatan intelektual dan menemukan sebuah integrasi
pengetahuan dunianya.
Selain
itu, pendidikan berfungsi membantu peserta didik untuk membentuk “habit”,
watak, dan tendenci mencari kebenaran, memahami, menikmati dan menggunakannya
dalam setiap aspek kehidupan. Sedangkan kebenaran itu terdapat pada kebudayaan
dan terdapat nilai-nilai objektif pada kultur, norma dan standar moralitas, yang tidak tergantung pada apa yang dipikirkan dan
dirasakan oleh setiap masyarakat. Oleh sebab itu, nilai-nilai kultur yang objektif
dan standar moralitas harus membentuk
kurikulum inti yang bermanfaat bagi pendidikan. Relevan dengan persoalan
ini, maka bagi realisme pendidikan secara esensial berfungsi mentransmisikan
warisan kebudayaan dari satu generasi kegenerasi selanjutnya.
Metodologi dalam pendidikan menurut
realisme dengan begitu harus mempertimbangkan beberapa hal sebabagai berikut: pertama, secara ontologis pendidikan
harus melihat peserta didik dipandang seperti apa adanya, utuh dan tidak
teredukdi sedikitpun. Mereka bisa
dijadikan sebagai sasaran untuk dipelajari apa adanya. Kedua, dari sisi epistimologis, dimana dalam prespektif realisme
pengetahuan adalah hasil yang dicapai melalui proses dimana antara subjek dan
objek mengadakan pendekatan. Maksudnya adalah, hasil sebuah pengetahuan
merupakan perpaduan antara pengamatan, pemikiran, dan kesimpulan dari kemampuan
manusia dalam menyerap objeknya. Praktik pendidikan dengan begitu, harus
didasarkan pada hasil pengamatan terhadap realitas empirik mengenai peserta
didik yang dipelajari secara ilmiah. Dan ketiga,
dalam hal aksiologi pendidikan, peserta didik dianggap sebagai agen yang ikut
menentukan hakikat nilai. Mereka sebagai
manusia unik yang harus dilibatkan dalam mengkontruk sebuah nilai. Tidak boleh
ada paksaan sebuah nilai yang harus diberikan kepada peserta didik.
Kritik Atas Paradigma
Positivistik
Tradisi pemikiran realisme yang lebih
menekankan pada objektifitas dan netral dalam mencari ilmu pengetahuan,
nampaknya sangat mengilhami paradigma positivisme. Dimana ontologi yang dibangun mengasumsikan
adanya sebuah realitas yang nyata adanya dan sepenuhnya dapat difahami (apprehendable). Terdapat realitas di
luar sana yang perlu dipelajari, ditangkap dan dipahami. Epistimolgi
positivistic adalah dualis dan objektif. Sedangkan metodologinya mengakar pada
tradisi sains yang kental dengan sifat eksperimental dan manipultaif.
Karena menekankan objektifitas, maka
karakteristik positivistic biasanya lebih cenderung struktural, behavioristik
dan kuantitatif. Artinya, ketika hal ini diterapkan dalam mencandra realitas sosial
maka akan terjadi masalah, sebab manusia sebagai makhluk sosial adalah bersifat
dinamis dan bebas. Manusia bukan seperti benda-benda lain yang menjadi sumber
ilmu pengetahuan, yang menurut Kerlenger (1973) bersifat observable, repeatable, measurable, testable, dan predictable. Melainkan manusia adalah
makhluk dengan penuh misteri yang sulit dipahami. Ia memiliki jiwa, ruh,
spirit, kemauan, instropeksi, kesadaran, subjektivitas,dan lain-lain.
Wajar jika sehubungan dengan ilmu
positivistic yang terkenan dominan dalam memandang manusia ini, seorang
sosiolog K.J Veeger (1984:
231-252), pernah mengkritik keras karena bisa
menyebabkan manusia dianggap memiliki hukum yang sama dengan ilmu pengetahuan
yang harus bersifat objektif, berulang kali, dan kesalingketergantungan antar
unsur-unsurnya. Semua itu berakibat fatal bagi manusia karena selama ini
manusia dipandang sebagai objek yang kehilangan kebebasanya sebagai manusia, ia
diasingkan dari diri sendiri, tidak merasa bebas dan berkuasa atas hidupnya
sendiri. Lebih jauh Veejer menjelaskan sesungguhnya manusia adalah makhluk religius, sebab
manusia memiliki apa yang disebut religious kesadaran manusia yang percaya
bahwa Di atas dan dibawah tata fenomena yang beraneka-warna, bersembunyilah
“Ada Sejati”atau, menurut Plato, to ontos
on, yaitu Realitas yang mendasari segala realitas,Yang Tunggal tanpa ada
lawanya.
Relevan dengan kenyataan hakikat
manausia tersebut, sebenarnya manusia adalah sebagai makhluk tuhan yang mempunyai
sifat transendental, artinya ia mempunyai sifat dan upaya untuk selalu lebih
dari keadaannya. Ia memiliki cita-cita, motivasi, kehendak agar kehidupan yang
dijalani didunia ini semakin baik meningkat, baik, sejahtera dan bermartabat.
Lebih dari itu, meskipun terkesan canggih, positivisme lebih menawarkan pengetahuan yang bersifat sempit dan kurang humanistic. Secara umum, meteodologinya bersifat etnosentris, memihak kepada Negara maju yang telah lama menguasai ilmu pengetahuan. Hal ini membawa konsekuensi yang kurang menguntungkan, tentu saja. Sebab, Negara-negara berkembang seperti Indonesia akan selalu menjadi tersubordinasi dan menolak pengalaman kehidupan yang dinamis. Padahal pada kenyataannya, teori-teori yang dikonstruk Barat selama ini terkesan “dipaksakan” dan tidak bisa menjawab serta memecahkan permasalahan-permasalah di Negara kita, maka salah satu alternatifnya, kita harus menggunakan “teori kritis” agar memungkinkan bagi masyarakat kita untuk membangun, mengkonsep dan menemukan sebuah teori khas Indonesia yang bersumber dari tradisi dan kebudayaannya sendiri.
Praktik Pendidikan di Indonesia: Sebuah Refleksi
Kalau melihat pendidikan di Indonesia,
meskipun sangat diwarnai oleh aliran positivistic tetapi justru terjebak pada pencarian
kebenaran yang bersifat mekanik dan menggeser peran manusia sebagai pribadi
yang unik dengan segala potensi yang dimilikinya. Karena, paradigma
positivistic yang pada awalnya bersumber pada realisme—dalam implementasinya tidak
memberikan fleksibelitas kepada peserta didik dalam menentukan sebuah
kebenaran.
Padahal kebenaran dalam prespektif
positifistic, yang pada awalnya bersifat determinsitik, mekanik dan materialistik.
Pandangan seperti ini, dalam perkembangan di dunia filsafat sains, telah banyak mengalami kritikan. Lebih-lebih
setelah ditemukan teori mekanika kuantum sebuah perkembangan mutakhir dibidang
fisika. Yang oleh Zainal Abidin Bagir (2003: 16), telah menyebabkan pembalikan
pandangan yang tak deterministic dan tak mekanis.
Paradigma pendidikan yang lebih
menitik beratkan pada positivistic tersebut, sejatinya telah memberikan
pandangan dunia sebagai realitas independen dan otonom. Padahal sejatinya,
dunia ini meskipun memiliki daya-daya alamiyah, seperti gelombang nuklir lemah,
elektromagnetik, bahkan gravitasi oleh para filsuf muslim,seperti al-Farabi,
IbnSina,dan Ibnu Rusys, selalu dikaitkan dengan daya kosmik, samawi dan transenden.
Bahkan manusia, yang oleh saintis hanya dipandang sebagai makhluk fisik-kimia,
oleh para filsuf dan mistika muslim dipandang sebagai “mikrokosmos”. Meskipun
manusia secara fisik tidak signifikan, ia dianggap memiliki segala macam unsur
kosmik, dari mineral, tumbuhan, hewan, dan bahkan spiritual (Mulyadi
Kartanegara, 2003: 70-71).
Artinya, untuk mengembalikan praktik
pendidikan di Indonesia agar mencapai
sebuah tujuan seperti yang diharapkan sudah seharusnya memiliki perpaduan paradigma
yang tidak dikotomik, antara positivistik dan non-positivistik. Sehingga,
benar-benar mampu menghasilkan manusia yang holistic atau insan al-kamil. Sebab, dalam mencari pengetahuan tidak terperosok
pada egoisme kemanusiaannya, tetapi tetap menyertakan adanya campur tangan
Tuhan.
Unsur kecerdasan dan rasionalitas
sebagai sesuatu anugerah Tuhan mutlak diperlukan dalam mencari dan menemukan (ciourisity) ilmu pengetahuan. Tetapi,
hal ini harus selalu dipantulkan pada kebenaran agama sehingga terjadi hubungan
sinergis dan harmonis antara akal dan wahyu. Akhirnya, penggalian ilmu pengetahuan tersebut membawa
kemaslahatan bagi hidup dan kehidupan manusia.
Dalam praktiknya, pendidikan dalam
prespektif realisme dengan begitu harus senantiasa lebih mendekatkan realitas
kebenaran pada peserta didik. Sebab, menurut John Locke salah seorang tokoh realism,
pengalaman riil atau experience memiliki
peranan yang sangat penting bagi seorang
anak dalam mencari ilmu pengetahuan. Lebih lanjut ia berkata: stressing the relationship between the
environment n human thought, said: “whence has all the materials of reason and knowledge? to this
answer, in one word, experience (lihat Joan I. Robert, 1973). Jadi mereka sendiri yang melihat, mendekati dan menemukan sebuah
kebenaran itu. Bukan sebuah kebenaran yang sudah di paket dalam buku dan
dikuasai oleh para guru. Sementara anak-anak didik hanya boleh mengamini saja. Celakanya
lagi, pintar dan tidak pintarnya seseorang hanya ditentukan pada Ujian Akhir
Nasional.
Selain itu, proses pendidikan tidak
harus ditekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan yang sebesar-besarnya pada
anak yang harus dihapal dan dikuasai (having),
tanpa harus mengerti untuk apa pengetahuan yang dimilikinya tersebut. Sehingga,
semakin banyak hapalan teori semakin jauh ia dari realitas masyarakatnya. Melainkan,
pegetahuan yang diperoleh di sekolah harus membentuk sebuah kepribadian yang
diharapkan dan “merubah dunia”. Inilah istilah teori pendidikan yang sering
disebut dengan learning by doing.
Sebagaimana anjuran Jean-Jacques Roussue ketika menulis sebuah novel klasik yang berjudul Emile,
yang diambil dari nama anaknya.
Tak salah, jika melihat pendidikan di
Negara kita karena menekankan pada pembelajaran yang tidak holistik—meskipun sudah
banyak diajarkan tentang konsep nilai-nilai kemanusiaan, seperti;
gotong-rorong, toleransi, peduli terhadap sesama. Pada praktiknya, mereka
banyak yang berlaku dan bertindak tidak manusiawi. Seringnya tawuran, kekerasan
dan anarkisme di masyarakat kita semakin membenarkan, jauhnya penerapan nilai-nilai yang telah
diajarkan di sekolah itu.
Letak kesalahanya adalah bukan pada
tataran konsep yang diajarkan tersebut pada peserta didik. Tetapi, mereka
merasa asing dan tidak terbiasa dengan nilai-nilai kebaikan tersebut, ketika
harus hidup di tengah-tengah masyarakat. Mereka hapal betul tentang pluralitas
masyarakat Indonesia. Tetapi, mereka tidak mengerti dan menyadari kemajemukan
agama, etnis, kultur yang berada di tengah-tengah msyarakat dimana ia bertempat
tinggal. Sehingga tidak bisa berbuat banyak dengan sejumlah teori pluralitas
yang diajarkan sekolah. Karena hanya berhenti pada tingkatan knowing (mengetahui kemajemukan), tidak
sampai feeling (merasakan adanya kemajemukan)
apalagi sampai doing (bersikap dan
menghargai kemajemukan).
Padahal dalam presepektif realisme,
pendidikan seharusnya mengajarkan sebuah objek atau pengetahuan “apa adanya” kepada
peserta didik. Sehingga mereka dapat membuktikan sendiri akan pengetahuan itu.
Tentang konsep realitas kemajemukan seperti itu misalnya, tentu saja tidak
cukup untuk dikatakan dan murid hanya terampil menyebut sejumlah angka-angka
perbedaan di masyarakat. Tetapi mereka betul-betul didekatkan dengan kenyataan
perbedaan di masyarakat tersebut. Sehingga, mereka menyadari dan terbiasa dengan perbedaan ini. Misal
saja, mereka diajak melihat keanekaragaman agama dimasyarakat. Sehingga
memungkinkan mereka berkomunikasi dan
bersosialisasi secara langsung dengan masyarakat yang memiliki keanekaragaman
budaya, agama dan etnis. Mereka tentu saja akan mengerti secara langsung
perbedaan-perbedaan agama dengan tempat
ibadah dan tatacara sembahyangnya. Secara otomatis juga terjadi pengalaman yang
tidak hanya melibatkan kognitif saja, tetapi perasaan afeksi dan
psikomotorisnya sekaligus.
Referensi:
Akinpelu,
JA (1981), An Introduction to Philosophy of Education, London: Macmillan
Publisher.
Bargir,
Zainal Abidin (2003), Pluralisme Pemaknaan dalam Sains dan Agama, dalam Journal Relief: Agama & Sains, vol.1 no1.
Barnadib,
Imam (2002), Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: AdiCita.
Calhoun, C, (2002), Dictionary of
the social science, Oxford University Press, Oxford.
Cohen,
Christiadi (2007), Bahasa Menurut
Ontology Realisme Analitis BERTRAND RUSSEL, STULOS 6/1 (April ).
Dupuis,
Adrian M dan Nordberg, Robert B. (1973), Philosophy
and Education; A Total View, USA: The Bruce Publishing Company.
Gulek,
Gerald Lee, (1974), Philosophical Alternatives in Education, Ohio: A Bell &
Howell Company.
Harb,
Ali (2006) Asilah al-Haqiqahwa Rahanat
al-Fikr: Muqarabat Naqdiyah wa Sijaliyyah, diterjemahkan oleh Umar Bukhory
“Relativitas Kebenaran”, Yogyakarta: IRCiSoD.
Kartanegara,
Mulyadi (2003), Ketika Sains Bertemu Filsafat dan Agama, dalam Journal Relief:
Agama & Sains, vol.1 no1 tahun.
Mangunhardjana, A. (1997), Isme-Isme
dalam Etika dari A sampai Z,Yogyakarta: Kanisius.
Persen,
Van C.A. (1985), De Opbouw van de Wetenschap een inleiding de wetenschapsleer
diterjemahkan oleh J. Drost “Susunan Ilmu Pengetahuan”, Jakarta: PT Gramedia.
Robert,
Joan I. (1976), “An Overview of
Antropology and Education”,dalam Joan I.
Roberts dan Sherrie K.Akinsanya, Educational patterns n cultural configurations
:The Antropology of Education, New York: DavidMcKay Company.
Veeger,
KJ. (1984), Realitas Sosial: Refleksi
Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah
Sosiologi, Jakarta: Gramedia.

0 Comments